Kebebasan di Bawah Rezim Komunis



Islam di China usianya lebih dari 1.350 tahun. Jejaknya bisa ditemukan di banyak tempat. Dua kantong Muslim, yaitu Xinjiang dan Ningxia, adalah wilayah yang diberi otonomi oleh pemerintah komunis China sejak tahun 1958. Pada awal November lalu, atas undangan China Radio International (CRI), ”Kompas” bersama wartawan Indonesia dan Malaysia menelusuri jejak-jejak Muslim China itu.
***
Bagaimana nasib umat Islam di bawah kekuasaan Pemerintah China yang komunis? Bisakah kaum Muslim menjalankan aktivitas keagamaannya secara bebas, tanpa tekanan? ”Tidak ada yang mengganggu, pemerintah sekalipun. Umat Islam di sini bisa menjalankan ibadahnya dengan leluasa,” kata Na Xuejun alias Abdullah Hud, imam Masjid Najiehu, kota Wuzhong, Ningxia, China, awal November lalu.
Dalam persepsi kita, sebagaimana yang terjadi hingga hari ini di Indonesia, Islam dan komunis berada di posisi berseberangan. Ibarat air dan minyak, rasanya mustahil dipersatukan dalam satu belanga. Namun, umat Islam di sejumlah kantong Muslim di China yang ditemui Kompas pada awal November lalu, kecuali di Xinjiang, hampir tidak memperlihatkan perasaan tertekan, termasuk secara politik, di bawah rezim komunis China.

Kebebasan umat Islam menjalankan ibadah juga diakui pimpinan teras Asosiasi Islam China. Menurut Wakil Ketua Asosiasi Islam China Mustafa Yang Zhibo yang ditemui di Beijing, seperti umat agama lainnya, umat Islam di China juga bebas melakukan ibadah dan kegiatan agamanya.
”Pemerintah China memberikan kebijakan yang bebas bagi semua umat untuk menjalankan kegiatan agamanya. Untuk semua agama, baik Islam, Buddha, Tao, Katolik, maupun Kristen. Pemerintah tidak ikut campur tangan. Sudah ditentukan di dalam undang-undang dasar China bahwa semua orang berhak memilih agama masing-masing,” ucap Badruddin Guo Chengzhen, Wakil Ketua Asosiasi Islam China lainnya.
Tidak hanya itu, ujar Mustafa, Muslim China yang umumnya berasal dari etnik minoritas, seperti Hui dan Uighur, sangat dihormati. Pasalnya, Pemerintah China memberikan kebijakan yang berbeda terhadap etnik-etnik minoritas. Contohnya saja soal keluarga berencana. Ketika pemerintah membuat kebijakan satu anak untuk satu keluarga, justru kebijakan itu tidak terlalu ketat dijalankan di etnik minoritas.
”Oleh sebab itu, pertumbuhan penduduk (etnik Hui) lebih cepat,” ujar Li Wenming, Kepala Komisi Agama dan Etnik Provinsi Ningxia di Yinchuan. Oleh karena itu, Islam di China terus berkembang, termasuk dalam pertumbuhan penduduk, terlebih lagi sejak era reformasi dan pembangunan dalam beberapa dekade belakangan ini. Etnik Hui yang merupakan pemeluk Islam memang mendapat hak-hak istimewa. Walaupun diakui belum ada data yang pasti, Asosiasi Islam China mencatat Muslim di China berjumlah sekitar 23 juta jiwa.
Pengembangan Islam
Dalam pembangunan masjid, walaupun digagas dan dibiayai secara swadaya oleh umat Islam, pemerintah juga memberikan subsidi anggaran, terutama untuk renovasi masjid-masjid bersejarah. Saat ini di seluruh China, berdasarkan data Asosiasi Islam China, ada sekitar 35.000 masjid. Bahkan, Pemerintah China ikut memberikan dana guna mendorong perkembangan umat Islam. Salah satunya dengan dukungan terhadap institut agama Islam.
Saat ini terdapat 10 institut agama Islam, antara lain tersebar di Beijing, Xinjiang, Ningxia, dan Yunnan. Menurut Mustafa, tahun 2011 saja bantuan dana dari pemerintah senilai 100 juta yuan atau sekitar Rp 140 miliar.
Ada sekitar 470 asosiasi yang berada di bawah naungan Asosiasi Islam China. Asosiasi Islam China memiliki sejumlah peran penting bagi perkembangan umat Islam setempat. Secara khusus, asosiasi ini juga harus mampu menjelaskan isi Al Quran kepada masyarakat Muslim. Terkait hal itu, tafsir Al Quran diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa, antara lain Uighur, Kazak, dan Mandarin.
Kantong Islam di China
Umat Islam hampir tersebar di seluruh daratan China. Di kota-kota besar seperti Beijing, Guangzhou, Shanghai, termasuk di Xi’an (Provinsi Shaanxi), Provinsi Gansu, banyak ditemui kantong Muslim. Provinsi Yunnan, yang pada masa silam merupakan basis pengaruh Islam begitu besar, juga masih menjadi kantong Muslim. Namun, memang kantong terbesar umat Islam sekarang terdapat di dua provinsi, yaitu Xinjiang dan Ningxia. Xinjiang dan Ningxia merupakan wilayah otonom sejak tahun 1958, yang diberi keleluasaan untuk mengurus daerah, budaya, adat istiadat setempat, juga hukum.
Ketika di Indonesia masih di bawah pengaruh zaman Hindu-Buddha, Islam telah menyebar di China. Di Beijing, yang merupakan salah satu wilayah terjauh dari pusat Islam di Arab Saudi, Masjid Niujie bertarikh 996. Masjid Huaisheng di Guangzhou bahkan paling tua di China, yaitu dibangun tahun 600-an. Persinggungan Islam di China sejak sekitar 1.350 tahun silam pada zaman Khalifah Rasyidin atau saat Dinasti Tang berkuasa (618-907). Kala itu, sahabat Nabi, Saad bin Abi Waqqas, memulai perjalanan dari Persia menuju Yunnan.
Setelah ribuan tahun silam itu, Islam di China tetap tegak. Namun, sebagai minoritas, umat Islam tentulah tak terlampau banyak menduduki posisi penting, terutama di bidang politik. Dari 2.987 deputi Kongres Rakyat Nasional di sejumlah wilayah, 97 di antaranya Muslim (3,2 persen). Dari 2.237 anggota Komite Nasional, hanya ada 67 Muslim (3 persen). Barangkali posisi tertinggi saat ini yang dicapai adalah Perdana Menteri China, yaitu Hui Liangyu, yang berasal dari etnik Hui. Satu tokoh lagi adalah Ismail Amat, dari etnik Uighur, yang menduduki posisi Wakil Ketua Tetap Kongres Rakyat Nasional. (Subhan SD)

kompas.com

Komentar