Tatang The Fighter!


Oleh, Herry Nurdi
Saya menganggapnya sebagai guru dan sahabat. Namanya Tatang, tunanetra, tapi tajam sekali mata hatinya. Kami pertama bertemu saat ibadah haji tahun 2010. Saya memijat kakinya yang kram dan kaku sehabis thawaf saat umrah, sejak itu kami bersahabat, sangat rapat.
Dia tunanetra, tapi sangat tajam mata hatinya. Berbuat besar, barangkali tak mampu dilakukan orang normal. Mendirikan SLB ABCD di rumah warisan yang dimilikinya bersama sang kakak yang juga tunanetra. sang kakak pegawai negeri, gaji tiap bulan diberikan untuk biaya pendidikan anak-anak disability yang dipeliharanya. Tatang, pegawai “luar negeri” suka manggal di terminal ledeng memijat para supir dan hasilnya untuk anak-anak binaan sekolah. Tangguh. Canggih.
Kemarin saya memboyong Kang Tatang ke Bekasi, bertemu sharing dalam Seminar Motivasi Pendidikan Guru Mujahid. Setelah itu, kami bergurau sambil makan nasi bungkus hidangan para sahabat guru. Tatang the Fighter, kami sudahi pertemuan hari itu dengan saling berpesan: Jangan Diam. Lakukan Sesuatu, Meski Ringan. Angkat Beban!

Ini tambah kesan dari mbak Fitri Yani koordinator program Teachers Working Group Bekasi Raya yang mengantarkan Kang Tatang pulang. “Tidak seperti biasanya, kali ini saya mengantarkan pembicara di acara seminar TWG Bekasi ke salah satu travel agent untuk kembali ke kota asalnya. Pembicara seminar kali ini adalah seorang yang sangat istimewa, dengan segala kesederhanaan yang beliau miliki, saya melihat disitulah justru kehebatan beliau.”
Di perjalanan menuju Baraya Agency beliau berusaha mengenal kami lebih dekat, dengan menanyakan tempat tinggal dan tempat kami mengajar. Saat itu di kendaraan ada lima orang selain beliau, yaitu saya, Bu Masri dan anaknya, Pak Dimas beserta istrinya. Dan Kang Tatang, demikian beliau biasa dipanggil, juga menyatakan tentang betapa beliau merasa kurangnya beribadah sosial bila beliau tidak mendirikan SLB yang sekarang ini beliau bina dan biayai dengan penghasilannya sebagai tukang pijat.
Subhanallah, begitu mulia hati beliau, saya bisa merasakan kegigihan dan kearifan beliau dalam menghitung waktu dan mengisinya di dunia ini dengan masa-masa emas yang gemilang untuk dapat dituai kelak di akhirat nanti. Walaupun beliau tunanetra, itu bukan penghalang bagi beliau. Bahkan beliau mampu meraih dua gelar sarjana dalam hidupnya.
Terakhir kalinya beliau bercerita tentang seorang anak berusia tiga tahun yang diturunkan begitu saja di pinggir jalan dari sebuah mobil. Ternyata anak itu buta. Oleh seseorang, anak tersebut dibawa ke sekolah beliau, namun karena tempat penampungan anak-anak sudah penuh, anak tersebut dititipkan di rumah rekan beliau. Namun masih dalam pengawasan beliau. Sampai saat ini si kecil tidak ada yang mencari. Kata beliau “Sepertinya dia memang mau dibuang.”

Panitia dan Pengurus TWG Bekasi Raya
Betapa terenyuh hati saya mendengar kata-kata itu, sebegitu teganya orang tua membuang anaknya yang cacat, seakan anak itu tidak punya hak untuk mandapat kasih sayang dan masa depan. Pak Tatang adalah sosok inspiratif dan harapan bagi anak-anak itu. Satu langkah kecil pak Tatang, kini sudah menjadi puluhan langkah panjang, semoga Allah memberkahi beliau dengan menjadikan ribuan langkah yang berarti bagi perjuangan beliau. Amin. Kami mendukungmu, Kang Tatang.

Komentar