Tunjangan Besar Malah Membuat Umar Marah



Sebelum diangkat menjadi khalifah, Umar bin Khaththab r.a menafkahi keluarganya dari usaha berdagangnya. Sahabat rasul yang mulia ini juga terkenal sebagai pedagang yang zuhud. Umar tidak pernah curang apalagi ingkar. Namun, setelah diangkat menjadi khalifah, tidak ada waktu baginya untuk mengurus perdagangannya. Ia tidak memiliki penghasilan yang dapat digunakan untuk menghidupi keluarganya sehari-hari.

Beliau pun mengumpulkan rakyatnya di Madinah, lalu berkata kepada mereka. “Dahulu aku berdagang, sekarang kalian memberiku kesibukan mengurusi pemerintahan, karena itu bagaimana sekarang aku memenuhi kebutuhan hidupku?“


Berbagai usul disampaikan tentang jumlah uang yang akan diberikan kepada Umar, tetapi Ali bin Abi Thalib r.a diam saja. Umar kemudian bertanya kepadanya. “Bagaimana pendapatmu, wahai Ali?“ Ali menjawab, “Ambillah uang sekadar mencukupi keperluan keluargamu”. Dengan senang hati, Umar menerima pendapat Ali. Akhirnya uang tunjangan untuk Umar ditetapkan sebanyak itu. Yang tentu Umar tidak menetapkan jumlah tinggi bagi tunjangannya.

Setelah kejadian itu, beberapa hari kemudian, sejumlah sahabat termasuk Ali, Usman, Zubair, dan Thalhah berkumpul dalam suatu majelis untuk mengusulkan agar uang tunjangan Umar ditambah Menururut mereka tunjangan yang diminta Umar terlalu kecil. Tetapi tidak seorang pun diantara mereka yang berani menyampaikan usul itu kepada Umar. Usman bin Affan r.a berkata, “Sebaiknya usulan kita ini jangan langsung disampaikan kepada Umar. Lebih baik kita memberi isyarat lebih dulu melalui puteri beliau, Hafshah. Sebab aku khawatir, Umar akan murka kepada kita.”

Mereka lantas menyampaikan usulan tersebut kepada Hafshah, putri Umar, seraya memintanya untuk bertanya kepada Umar bagaimana pendapatnya jika ada seseorang yang mengajukan usulan mengenai penambahan tunjangan baginya.

“Apabila beliau menyetujuinya, barulah kami akan menemuinya untuk menyampaikan usulan tersebut. Kami meminta kepadamu untuk tidak menyebutkan nama seorang pun di antara kami, ujar mereka meminta kepastian.
Ketika Hafshah menanyakan hal itu kepada Umar, kesan marah muncul dalam diri Umar seraya berkata, “Siapa yang mengajari engkau untuk menanyakan usulan ini?”
Hafshah menjawab, “Aku tidak akan memberitahukan nama mereka sebelum Ayah memberitahukan pendapat Ayah tentang usulan itu.”

Umar kemudian berkata lagi, “Demi Allah, andaikata aku tahu siapa orang yang mengajukan usulan tersebut, aku pasti akan pukul wajah mereka.”
Setelah itu, Umar balik bertanya kepada Hafshah, yang juga adalah istri Rasulullah SAW, “Demi Allah, ketika Rasulullah SAW. masih hidup, bagaimanakah pakaian yang dimiliki oleh beliau di rumahnya? ”Hafshah menjawab, “Di rumahnya, beliau hanya mempunyai dua pakaian. Satu dipakai untuk menghadapi para tamu dan satu lagi untuk dipakai sehari-hari.”

Umar bertanya lagi, “Bagaimana makanan yang dimiliki oleh Rasulullah?”Hafshah menjawab, “Beliau selalu makan dengan roti yang kasar dan minyak samin.”Umar kembali bertanya, “Adakah Rasulullah mempunyai kasur di rumahnya?”

Hafshah menjawab lagi, “Tidak, beliau hanya mempunyai selimut tebal yang dipakai untuk alas tidur di musim panas. Jika musim dingin tiba, separuhnya kami selimutkan di tubuh, separuhnya lagi digunakan sebagai alas tidur.”

Dan Umar kemudian melanjutkan perkataannya, “Hafshah, katakanlah kepada mereka, bahwa Rasulullah saw. selalu hidup sederhana. Kelebihan hartanya selalu beliau bagikan kepada mereka yang berhak. Oleh karena itu, aku pun akan mengikuti jejak beliau. Perumpamaanku dengan sahabatku—yaitu Rasulullah dan Abu Bakar—adalah ibarat tiga orang yang sedang berjalan. Salah seorang di antara ketiganya telah sampai di tempat tujuan, sedangkan yang kedua menyusul di belakangnya. Setelah keduanya sampai, yang ketiga pun mengikuti perjalanan keduanya. Ia menggunakan bekal kedua kawannya yang terdahulu. Jika ia puas dengan bekal yang ditinggalkan kedua kawannya itu, ia akan sampai di tempat tujuannya, bergabung dengan kedua kawannya yang telah tiba lebih dahulu. Namun, jika ia menempuh jalan yang lain, ia tidak akan bertemu dengan kedua kawannya itu di akhirat.”
(sumber:Târîkh ath-Thabarî, jilid I/pz)

Komentar