Menghidupkan Kembali Warisan Kenabian!




 
Para Nabi tidak mewariskan dinar maupun dirham, namun mereka hanyalah mewariskan ilmu


RASULULLAH pernah bersabda, “Barangsiapa menghidup-hidupkan satu diantara sunnah-sunnahku, kemudian diamalkan oleh orang lain, maka ia mendapatkan pahala sepadan dengan pahala orang-orang yang mengamalkannya, tanpa dikurangkan sedikitpun dari pahala mereka. Dan, barangsiapa menciptakan suatu bid’ah, kemudian diamalkan oleh orang lain, maka ia mendapatkan dosa (sepadan) dengan dosa orang-orang yang mengamalkannya, tanpa dikurangkan sedikitpun dari dosa mereka.” (Riwayat Tirmidzi, hadits shahih li-ghairihi).

Alkisah, pada suatu hari Abu Hurairah berjalan melewati pasar Madinah. Beliau kemudian berhenti dan berkata, “Hai orang-orang di pasar, betapa malangnya kalian ini!” Mereka bertanya, “Mengapa demikian, wahai Abu Hurairah?” Beliau menjawab, “Itu warisan Rasulullah sedang dibagi-bagikan, sementara kalian tetap disini. Mengapa kalian tidak pergi kesana dan mengambil bagian kalian?” Mereka bertanya, “Dimana?” Beliau menjawab, “Di masjid.” Maka, mereka pun bergegas-gegas keluar menuju masjid. Abu Hurairah sendiri diam di tempatnya, sampai akhirnya mereka kembali lagi. Beliau bertanya, “Mengapa (kalian kembali)?” Mereka menjawab, “Hai Abu Hurairah, kami telah mendatangi masjid dan masuk ke dalamnya. Tapi, kami tidak melihat apapun yang sedang dibagikan.” Beliau bertanya, “Apa kalian tidak melihat seorang pun disana?” Mereka menjawab, “Ya, benar. Kami melihat sekelompok orang sedang mengerjakan shalat, sekelompok yang lain sedang membaca Al-Qur’an, dan sekelompok lagi sedang mempelajari halal-haram.” Abu Hurairah berkata, “Celaka kalian ini! Itulah warisan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam!.” (Riwayat Thabrani dalam al-Awsath, dengan isnad hasan).



Benar, para Nabi tidak mewariskan emas, tanah, rumah, atau barang-barang duniawi untuk dibagi, dilelang dan diperebutkan. Mereka mewariskan ilmu, keyakinan, dan bimbingan. Oleh karenanya, Rasulullah bersabda, “Sungguh, ulama’ adalah pewaris para Nabi. Sungguh, para Nabi tidaklah mewariskan dinar (emas) maupun dirham (perak), namun mereka hanyalah mewariskan ilmu. Siapa saja yang mengambilnya, sungguh ia telah mengambil bagian yang sangat banyak.” (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dari Abu Darda’. Hadits shahih).
Keinginan kuat untuk mendapatkan bagian dari “warisan kenabian” inilah yang mendorong para pelajar di masa silam mengembara ke seluruh penjuru untuk memburu hadits. Dalam kondisi sarana-prasarana Abad Pertengahan yang masih serba manual, mereka menempuh jarak ribuan kilometer untuk menemui para guru yang – kadang – hanya menyimpan satu dua teks hadits saja. Mereka tidak perduli, sebab “warisan kenabian” itu tidak boleh terlewatkan satu pun. Dengan tangannya pula mereka mencatat sendiri ratusan ribu – bahkan, nyaris mencapai sejuta – teks hadits yang berlain-lainan.

Ahmad bin Mani’ bercerita: Ahmad bin Hanbal berjumpa dengan kami di jalan, dan beliau baru datang dari Kufah sementara di tangannya ada sejumlah kertas yang berisi salinan kitab-kitab. Saya pun meraih tangannya dan berkata, “Sekali waktu ke Kufah, lalu di lain waktu ke Bashrah, sampai kapan? Bila seseorang telah mencatat 30.000 hadits, apa tidak cukup?” Beliau diam. “Apakah 60.000 tidak cukup?” Beliau tetap diam. “Apakah 100.000 tidak cukup?” Beliau menjawab, “Saat itulah dia baru mengerti ‘sesuatu’!” (Dari: al-Madkhal ila Madzhabi al-Imam Ahmad bin Hanbal, karya Ibnu Badran ad-Dimasyqi).

Apakah Anda dapat membayangkan kesungguhan dan tekad macam apa yang berkobar di balik kata-kata: “mencatat seratus ribu hadits dengan tangan sendiri”? Kita mungkin bisa menyepelekan hal itu di masa sekarang, sebab pengetikan dengan komputer sudah sangat nyaman dilakukan. Bahkan, sebagian orang diketahui meng-copy paste karya orang lain, mengganti judulnya, lalu mengatasnamakannya untuk diri sendiri. Namun, di zaman Imam Ahmad semua harus ditulis tangan. ‘Amru bin ‘Ashim al-Kilabi berkata, “Saya mencatat belasan ribu hadits dari Hammad bin Salamah.” ‘Abbas ad-Dury berkata, “Saya mencatat 35.000 hadits dari Musa bin Isma’il at-Tabudzaki.” Abu Dawud berkata, “Saya mencatat 50.000 hadits dari Bundar Muhammad bin Basysyar.” Abu Zur’ah berkata, “Saya telah mencatat 100.000 hadits dari Ibrahim bin Musa ar-Razy.” Abul ‘Abbas asy-Syirazi berkata, “Saya telah mencatat 300.000 hadits dari ath-Thabrani.” Pengakuan semacam ini sangat banyak, dan itu baru dari satu orang guru saja. Bagaimana jika mereka telah mencatat dari ratusan hingga ribuan guru? Ya’qub al-Fasawi dan Abu Dawud berkata, “Saya telah mencatat dari 1.000 orang guru.” Abdullah bin al-Mubarak berkata, “Saya telah mencatat dari 1.100 orang guru…”
Mereka pun memburu “warisan kenabian” dalam rentang yang panjang, hingga belasan tahun. Ahmad bin Salamah, teman karib Imam Muslim, mengaku, “Saya mencatat hadits bersama Muslim – dalam rangka menyusun kitab Shahih-nya – sebanyak 12.000 hadits selama limabelas tahun.” Dalam hal ini, Imam Muslim sendiri berkata, “Saya menyusun kitab Shahih saya ini dari (penyaringan terhadap) 300.000 hadits yang seluruhnya saya dengar langsung (dari guru-guru saya).”

Generasi muslim pendahulu kita tahu benar nilai “warisan kenabian” itu, dan rela membelanjakan seluruh sumberdaya miliknya untuk mendapatkannya. Wajar jika mereka mendapat kejayaan dan amal jariyahnya abadi sepanjang zaman. Nama sebagian ahli hadits pernah disebut-sebut di majlis khalifah Harun ar-Rasyid, maka beliau berkata, “Mereka adalah kaum yang abadi, nama mereka akan disebut beriringan dengan nama Rasulullah; sementara kami – para raja – adalah orang-orang yang akan musnah kenangannya.”
Bagaimana dengan kita di zaman ini?*/M. Alimin Mukhtar, seorang guru tinggal di Malang Jawa Timur

Komentar