Khitan Perempuan: Boleh atau Tidak?

Khitan Perempuan: Boleh atau Tidak?
Bayi (ilustrasi)

Oleh: Yusuf Assidiq

Masalah khitan terhadap perempuan terus menuai perdebatan dan pertanyaan. Tak sedikit keluarga  Muslim di Tanah Air merasa bingung ketika memiliki bayi perempuan. Sebab, kini petugas kesehatan yang menangani kelahiran bayi telah dilarang untuk mengkhitan bayi perempuan. 

Sejak terbitnya Surat Edaran (SE) Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat Depkes RI Nomor HK  00.07.1.31047 a, tertanggal 20 April 2006, tentang Larangan Medikalisasi Sunat Perempuan bagi  Petugas Kesehatan hampir sebagian besar bayi perempuan tak lagi dikhitan. Menurut surat edaran itu, sunat perempuan tidak bermanfaat bagi kesehatan, justru merugikan dan menyakitkan.

Lalu bagaimana menurut agama Islam? Munculnya larangan khitan terhadap perempuan yang diberlakukan Depkes itu telah mengundang perhatian para ulama di Tanah Air.  Pada 2008, Majelis Ulama Indonesia (MUI) secara khusus mengkaji masalah itu. Wadah musyawarah para ulama zu'ama dan cendekiawan Muslim itu akhirnya menetapkan fatwa tentang hukum pelarangan khitan terhadap perempuan.

''Khitan, baik bagi laki-laki maupun perempuan, termasuk fitrah (aturan) dan syiar Islam,'' ungkap Ketua Komisi Fatwa MUI, KH Anwar Ibrahim dalam fatwa bernomor 9A Tahun 2008 itu.  Sedangkan khitan terhadap perempuan adalah  makrumah, pelaksanaannya sebagai salah satu bentuk ibadah yang dianjurkan.

Fatwa ulama itu menegaskan, pelarangan khitan terhadap perempuan bertentangan dengan ketentuan syari'ah. Alasannya, khitan bagik bagi laki-laki maupun perempuan termasuk aturan dan syiar Islam.  Tentang adanya kekhawatiran khitan perempuan akan membahayakan perempuan dan bayi perempuan serta kesehatan reproduksi mereka dijawab ulama dengan anjuran batas dan tata cara mengkhitan.

''Khitan perempuan dilakukan cukup dengan menghilangkan selaput (jaldah/colum/praeputium) yang menutupi klitoris,'' papar KH Anwar Ibrahim. Dalam fatwa itu, para ulama menegaskan, khitan perempuan tak boleh dilakukan secara berlebihan, seperti memotong atau melukai klitoris (insisi dan eksisi) yang bisa mengakibatkan dharar (bahaya).

Sebagian  ulama dan fukaha, mengungkapkan,  khitan bagi wanita akan menjadi kebaikan bila dilakukan. Dalam sebuah hadis riwayat Syaddad bin Aus dijelaskan, ''Khitan adalah sunnah bagi kaum lelaki, dan merupakan kebaikan bagi kaum wanita.'' 

Khitan terhadap laki-laki telah dicontohkan Nabi Ibrahim AS. Sedangkan khitan untuk perempuan pertama kalinya dilaksanakan  Siti Hajar. Dalam satu riwayat diungkapkan, bermula ketika Siti Sarah, isteri Ibrahim, memberikan izin kepada Ibrahim untuk menikahi Siti Hajar.  Siti Hajar pun hamil. Ini menimbulkan kecemburuan Siti Sarah. Ibrahim menyarankan agar Siti Sarah melubangi kedua telinga dan menyunat kemaluan Siti Hajar.

Ibrahim Muhammad al-Jamal dalam bukunya berjudul Fiqh Wanita menyarankan agar tetap berpegang pada tuntunan hadis Nabi SAW.  ''Rasulullah telah menerangkan, khitan bagi wanita akan mendatangkan kebaikan (makramah),'' tegasnya. Di samping itu juga dapat mewujudkan kebersihan serta kesucian.

Islam punya alasan khusus ketika menganjuran khitan. Muhammad al Jamal dan Sayyid Sabiq sepakat, bahwa ada maslahat pada lingkup ini, terutama terkait aspek kesehatan dan biologis.  ''Karena dengan berkhitan, mereka (kaum wanita) bisa menjaga kebersihan dan kesucian diri,'' ungkap al -Jamal.

Mengutip pendapat Imam al-Syatibi, Prof Zaitunah Subhan dalam bukunya Fiqh Pemberdayaan Perempuan,menilai, dengan menekankan aspek maslahat, terutama secara medis dan syariat,  tidak melihat alasan untuk tidak menganjurkan khitan bagi wanita.  ''Sebab syariat pada dasarnya bertujuan untuk mencapai kebaikan di dunia dan akhirat.''

Ulama terkemuka Syekh Yusuf al-Qardhawi mengakui masalah khitan perempuan telah mennjadi perdebatan panjang di kalangan dokter dengan ulama. Ada dokter yang setuju, ada pula yang menentangnya. Begitu pula dengan ulama ada yang menganjurkan ada yang melarang.

''Barangkali pendapat yang paling moderat, paling adil  dan  paling dekat  kepada  kenyataan  dalam  masalah  ini  ialah  khitan ringan,  sebagaimana  disebutkan   dalam   beberapa   hadis,'' ungkap Syekh al-Qaradhawi.  Meski hadis itu tak sampai   ke derajat sahih, papar dia,   Nabi SAW pernah menyuruh seorang perempuan yang berprofesi mengkhitan wanita.

Rasulullah SAW bersabda, ''Sayatlah sedikit dan jangan kau sayat yang berlebihan, karena hal itu akan mencerahkan wajah dan menyenangkan  suami."
 


REPUBLIKA.CO.ID, 

Komentar