Tulus Bersahabat dengan Sesama Muslim



 
Seorang Mukmin selalu mencari alasan untuk memaafkan saudaranya
Kamis, 14 Februari 2013 
SAAT ini banyak dipertontonkan kepada kita bersahabat dengan tidak tulus. Lisan mengaku bersahabat bahkan tak sedikit sering diucapkan kata 'ukhuwah islamiah' meski sesungguhnya hatinya tidak.
Mari kita cermati bersama. Demi jabatan, kemenangan atau tarjet--tarjet kekuasaan, sekelompok orang rela meninggalkan sahabat-sahabat sejatinya sesama Muslim. Sebagian bahkan rela menyerang, memusuhi agar ada kesan dia orang moderat dan pembela kaum minoritas.
Tapi apa yang terjadi? Ibarat kata, niat hati ingin mendapat simpati dan meraih banyak, yang terjadi justru sebaliknya, mereka justru ditinggalkan perlahan-lahan dari saudara-saudara nya sendiri, sesama Muslim.
Dalam kitab Ihya' Ulumuddin Imam Ghazali mengatakan bahwa saling mencintai karena Allah Ta’ala dan persaudaraan dalam agama-Nya termasuk ibadah yang paling utama. Karena persahabatan sesama Muslim yang tulus karena Allah merupakan buah dari akhlak yang mulia dan kedua-duanya terpuji.
Kemudian Al-Ghazali mengutip hadits Nabi Muhammad shallallahu alayhi wasallam, “Orang mukmin itu mencintai sesamanya dan dicintai, tiada kebaikan pada siapa yang tidak mencintai dan tidak dicintai”.
Pantas jika kemudian Allah Ta’ala dalam firman-Nya menegaskan bahwa Dia sangat mencintai orang-orang Mukmin yang berjuang di jalan-Nya laksana sebuah bangunan yang kokoh.

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفّاً كَأَنَّهُم بُنيَانٌ مَّرْصُوصٌ
“Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (QS: As Shaaf [61]: 4).

Sebagaimana termaktub di dalam tafsir Ibn Katsir, Ibn Abbas berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “seakan-akan mereka seperti bangunan yang tersusun kokoh “yakni teguh, tidak akan tumbang, masing-masing bagian merekat erat dengan yang lain”.

Artinya, setiap Muslim harus benar-benar tulus ikhlas dalam persahabatannya semata-mata karena Allah, sehingga syi’ar Islam ini dapat kokoh tegak menyinari bumi. Tanpa persahabatan yang tulus karena Allah demi umat, niscaya umat Islam akan tercerai berai dalam berbagai bentuk kepentingan yang justru akan mengundang kerugian, kekalahan, bahkan kesengsaraan.

Oleh karena itu, sudah seharusnya, setiap jiwa benar-benar ikhlas karena Allah Ta’ala dalam persahabatannya, terutama jika benar-benar ingin mendapat kemenangan dan kebahagiaan di akhirat.
Hadits Nabi yang dikutip Imam Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin-nya mengatakan,
“Barangsiapa bersaudara dengan seseorang karena Allah Ta’ala, maka Allah Ta’ala mengangkatnya satu derajat di surga yang tidak didapatnya dengan sesuatu amalnya”.

Maka sangat beruntung kata Al-Ghazali orang yang Allah anugerahi seorang teman yang sholeh, yakni teman yang jika ia lupa diingatkannya, dan jika ia ingat dibantunya.

Dan, tentu sebaliknya, betapa sangat meruginya bila seorang Muslim memiliki teman yang dholim, yang apabila ia lupa dijerumuskannya, dan jika ia ingat dibohonginya. Teman seperti itu tidak ada gunanya, dan setia dengannya adalah sumber malapetaka.

Dalam mahfuzhat atau bunga rampai pribahasa Arab disebutkan, “Di antara pilihan yang baik adalah bersahabat dengan orang-orang baik. dan di antara pilihan yang buruk adalah mencintai orang-orang jahat”
Memilih Sahabat
Tidak setiap orang patut dijadikan teman. Demikianlah ungkap Al-Ghazali dengan mengambil pesan Nabi dalam haditsnya yang berbunyi, “Manusia itu mengikuti kebiasaan temannya, maka hendaklah seseorang dari kamu melihat siapa yang akan dijadikan temannya”.

Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan sebelum memutuskan bersahabat dengan orang lain, yakni berakal, berakhlak baik, tidak fasik, tidak melakukan bid’ah dan tidak berambisi atas keduniaan. Dengan kriteria tersebut maka seorang Muslim akan selamat agama, dunia dan kehidupannya. Itulah orang-orang yang rugi.

Di dalam Al-Qur’an secara eksplisit Allah menegaskan,

إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ
إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran” (QS: Al 'Ashr [103]: 1-3).

Oleh karena itu, kata Imam Ghazali, memutus hubungan dengan orang dungu adalah pendekatan kepada Allah Ta’ala. Begitu pula orang fasik, tidak ada manfaatnya bila berteman dengannya, karena siapa yang takut kepada Allah, ia tidak akan terus menerus mealkukan dosa besar, dan siapa yang tidak takut kepada Allah, maka ia tidak aman dari gangguannya.

Terhadap orang yang telah lalai hatinya dari mengingat Allah, sangat wajib bagi kita menjauhi dan meninggalkannya.

وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَن ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطاً

“Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (QS: Al Kahfi [18]: 28).

Teman Sejati

Berdasarkan uraian di atas, maka kriteria teman yang baik yang harus kita jadikan sebagai teman sejati itu sebenarnya sudah jelas, yakni yang beriman, beramal sholeh dan saling menguatkan dalam kebenaran dan kesabaran. Bukan teman yang membuat akal kita semakin jauh dari Allah hingga lalai hati kita dari mengingat Allah Subhanahu Wata’ala.
Sahabat Ali radhiallahu anhu, berkata, “Sesungguhnya saudaramu yang sebenarnya ialah yang senantiasa bersamamu dan merugikan dirinya untuk memberimu manfaat. Dan, apabila terjadi musibah ia mendatangimu dan ia korbankan dirinya untuk lebih memilih bersamamu.”
Jadi, teman sejati itu bukanlah teman yang datang di saat kita senang dan bahagia saja kemudian mencampakkan diri kita kala membutuhkan bantuan atau pertolongan, utamanya dalam urusan-urusan dakwah dan keumatan. Apalagi, teman yang ternyata justru merusak citra dakwah dan umat Islam hanya karena kepentingan pribadi. Jelas, itu bukan teman sejati.
Memahami hal tersebut merupakan satu keniscayaan. Jika tidak, bukan tidak mungkin, kita sendiri yang malah meninggalkan teman-teman sejati yang telah banyak membantu syi’ar Islam, menyokong dakwah dan bahu-membahu menegakkan syari’at-Nya. Sementara, di sisi lain, kita malah terjerembab dalam persahabatan semu yang hanya berpikir tentang harta, tahta dan wanita, na’udzubillahi min dzalik.
Patut bagi kita semua mencermati apa yang disampaikan sahabat Alqamah ketika menasehati putranya, menjelang wafatnya.
“Hai anakku, jika engkau perlu berteman dengan seseorang, maka bertemanlah dengan orang yang apabila engkau melayaninya, ia pun melindungimu, dan jika berteman dengannya ia menghiasimu.
Jika engkau tidak mampu menggunakan hartamu, bertemanlah dengan orang yang apabila engkau berbuat baik kepadanya, ia pun membalasmu, jika melihat kebaikan, ia menyebutnya dan jika engkau berbuat dosa, ia pun mencegahnya.

Bertemanlah dengan seseorang yang apabila engkau meminta sesuatu darinya, ia pun memberimu, dan jika engkau diam, ia pun menyapamu. Dan jika engkau megnalami musibah, ia menolongmu.


Bertemanlah dengan orang yang apabila engkau berkata, ia benarkan perkataanmu, dan apabila engkau hendak melakukan sesuatu, ia pun menasihatimu, dan jika kalian bertengkar, ia lebih mengutamakanmu.”

Setia dan Ikhlas
Jika kita bersahabat dengan sesama, hendaklah kita lakukan dengan penuh kesetiaan dan keikhlasan, yakni dengan selalu mencintai saudaranya sampai mati, juga mencintai anak-anak serta teman-temannya sesudah matinya.

Demikianlah tauladan dari Nabi Muhammad shallallahu alayhi wasallam. Beliau menghormati seorang wanita tua yang datang keadanya. Ketika dikatakan kepada beliau tentang hal itu, beliau bersabda,“Sesungguhnya ia dulu datang kepada kami di masa hidup Khadijah”.
Ketahuilah bahwa kesetiaan yang baik itu termasuk iman dan pengamalan agama. Engkau sepatutnya selalu melihat keutamaan saudaramu, bukan dirimu, kata Imam al Ghazali.
Jadi, tidak dibenarkan seorang Muslim memutus tali pershabatan, sebatas pada sahabatnya sendiri, tetapi juga harus berlanjut kepada anak dan teman-temannya. Karena memuliakan anak dan teman-teman sahabat kita, termasuk perkara yang sangat dicintai oleh sahabat kita.

Kata Nabi, “Tidak sempurna iman seorang Muslim, hingga ia mencintai saudara Muslim lainnya seperti ia mencintai diri sendiri.” (HR. Bukhari Muslim).
Perumpamaan dua orang yang bersahabat, Islam menganggambarkan tali persahabatan sesama iman bagaikan dua tangan yang saling membersihkan satu dengan lainnya. Seorang Muslim tidak akan jaya dan bahagia kecuali dengan tulus bersahabat dengan Muslim lainnya.
Karenanya tak akan ada 'kemenangan bersama' sehingga kita dipertemukan dengan hati yang saling mencintai dan menyayangi dengan tulus. Baik dari lisan, hati dan perbuatan kita.
Bagaimana jika ada sahabat kita telah jauh keliru dan salah?
Pendapat Abddullah bin Mas’ud layak untuk kita perhatikan. Ia pernah mengatakan, “Jika kau lihat temanmu melakukan dosa, jangan engkau malah menjadi teman setan mengalahkan dirinya. Maksudnya kau katakan, ya Allah hinakanlah dia, laknatilah dia, namun mintalah kepada Allah agar dia mendapatkan ampunan.”

Ibnul Mubarak berkata, “Seorang Mukmin mencari-cari alasan (untuk memaafkan saudaranya), sebaliknya orang munafik selalu mencari-cari kesalahan.”
Tak ada salahnya kita memeriksa batin kita. Sebenarnya, dengan siapa kita saat ini bersahabat? Apalah lebih sayang saudara seiman sendiri dibanding orang lain? Setelah itu mari kita lanjutkan dengan pertanyaan berikutnya;  dan seberapa tulus kita dengannya saling mencintai?*/Imam Nawawi
Rep: Imam Nawawi
Red: Cholis Akbar

Komentar