Kegigihan Perjuangan Okilik Lani, Kepala Suku pertama masuk Islam di Lembah Baliem Papua



Tim BSMI saat memeriksa Pak Okilik Lani (kanan)

Oleh dr. Mukri Nasution

[Rabu, 18/3/2015] Mendung semakin menggelayut di langit Wamena, rintik hujan satu persatu mulai turun, mentari sudah dari beberapa jam lalu meninggalkan Lembah Baliem pergi menghilang dibalik bebukitan. Beberapa jam lagi malam akan datang. Suhu di Lembah Baliem beberapa minggu terakhir ini sangat dingin, malam hari bahkan mencapai 10°C ditambah angin Kurima yang sangat kencang, jaket ini serasa masih kalah dengan suhu diluar, kedua tangan terasa keram, baru terpikir kenapa tadi tidak memakai sarung tangan.

Jalanan setapak yang kami lalui sepi, hanya sesekali bertemu penduduk yang baru pulang dari kebun, sesekali bertemu dengan babi yang masih berkeliaran di jalanan. Dua motor yang kami bawa seperti berlomba meraung melewati jalanan tidak beraspal yang penuh lobang bersyukur saja belum hujan, kalau jalanan ini basah pasti sangat susah dilewati. Rumah kepala suku yang dituju belum juga kelihatan. Entah sudah berapa kali saya bertanya kepada anak kepala suku yang menjadi penunjuk jalan kami. Biasa kalaupun jawabannya 'sudah dekat', itu 'dekat' menurut mereka.

Bercerita sedikit mengenai kepala suku yang akan kami kunjungi ini, namanya Okilik Lani usianya sekitar 70an, beliau salah satu kepala suku di Lembah ini yang pertama masuk Islam. Saya juga belum pernah bertemu dengan beliau. Kabar tentang beliau saya peroleh dari salah satu teman Jamaah Tabligh yang bekerja di Kantor Pos Wamena yang kemarin memberitahukan kalau beliau sedang sakit, bahkan sakitnya sudah 4 bulan, beliau tidak bisa berjalan dan tidak bisa dibawa ke kota untuk berobat. Kami berharap teman-teman dokter di BSMI bisa menjenguk beliau, tanpa pikir panjang langsung saja saya sanggupi tawaran tersebut.

Pak Okilik Lani dulunya juga panglima perang di Lembah ini, beliaulah yang merintis pembangunan Mesjid di Megapura bersama tiga orang tokoh lainnya yaitu Pak Moke Lani, Pak Wan Lokobal dan Pak Sinarek Lani. Dua dari mereka sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Pak Okilik juga yang pasang badan ketika dulu beberapa kali ancaman pembongkaran Mesjid tersebut, beberapa kali beliau dapat ancaman dibunuh setelah beliau mengucapkan Syahadat karena Islam masih merupakan agama minoritas dan masih asing di lembah ini.

Motor yang kami bawa akhirnya sampai di penghujung jalan, motor sudah tidak bisa lagi melewati jalan yang semakin kecil kami harus melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Beras yang yang kami bawa terpaksa harus dipikul. Motor kami parkirkan di depan rumah salah satu warga, kami langsung melanjutkan perjalanan. 

Sesekali bertemu dengan mama-mama yang pulang dari kebun,  mereka mengucap salam.

"Mereka juga Muslim dok," celoteh anak pak kepala suku. Disini sudah mulai banyak warga asli yang beragama Islam tambah beliau.

Berjalan kaki sekitar 15 menit akhirnya Honai yang dituju sudah di depan mata. Memasuki kompleks rumah-rumah penduduk tidak ada pintu pagar, kita harus memanjat masuk. Biasanya ini berfungsi agar hewan ternak atau binatang buas tidak masuk. Ada sekitar lima buah Honai dalam kompleks ini, 3 buah Honai berbentuk bulat yang dipakai oleh kaum pria dan 2 buah Honai yang berbentuk memanjang biasanya diisi oleh perempuan, anak-anak, bahkan bagi yang beragama Non Muslim biasanya juga diisi oleh Babi.

Kami dari Tim Medis Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI) disambut anak-anak dan keluarga pak Okilik, mereka menyalami dan memeluk kami satu persatu, rasa haru menggantikan hawa dingin sore ini. 

"Silahkan masuk dokter, bapak ada di dalam," kata anak beliau mempersilahkan kami masuk ke salah satu Honai. Dengan merunduk kita memasuki Honai, karena Honai-Honai ini memang didesign dengan atap rendah dan pintu kecil agar mengurangi hawa dingin dari luar, atapnya dari ilalang, lantai tanah juga dilapisi ilalang untuk alas tidur, tempat perapian di tengah berfungsi untuk menghangatkan ruangan. Pak Okilik duduk di sudut Honai, kami datangi dan salami beliau sambil memperkenalkan diri.

Jawaban salam dengan nada bergetar dari beliau, beliau mencoba menahan haru mencoba terlihat tegar. Saya peluk beliau, akhirnya tangis beliau pecah.

"Terimakasih dokter sudah mengunjungi kami, masih ada saudara Muslim kami yang peduli dengan kami." Beliau sesenggukan, kata-katanya tak jelas karena mulut beliau sedikit mencong ke kanan. Saya diam beberapa saat tak bisa rasanya berkata-kata.

Pak Okilik terus bercerita sambil dr. Rhudy memeriksa beliau, anggota geraknya sebelah kiri lemah sama sekali tidak bisa digerakkan, mulutnya mencong, telapak kaki kirinya terkelupas bekas terbakar beberapa minggu yang lalu katanya kaki beliau terkena api di perapian. Sambil bercerita beliau masih menangis, kadang anaknya yang menterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia jika ada kata kata beliau dalam bahasa Dani. Selama kami disitu tak hentinya pak Okilik bercerita. Menceritakan bagaimana tantangan beliau saat pertama kali memutuskan masuk Islam, penolakan yang keras dari orang-orang disekitarnya, beberapa kali katanya beliau diancam untuk dibunuh apalagi setelah mereka berencana mendirikan mesjid.

"Saya tidak takut dokter, saya percaya apa yang saya yakini benar," tambah beliau terbata-bata

Kami mengajari anak-anak beliau untuk melatih tangan dan kaki yang lemah agar nanti tidak kaku. Semua keluarganya duduk mengelilingi kami yang sedang memeriksa pak Okilik. BSMI juga menyerahkan kain sarung dan beras satu sak untuk keluarga pak Okilik.

"Warga disini masih banyak yang sakit dokter, kami kebanyakan kurang mampu untuk berobat ke kota," anak pak Okilik menambahi.

"Inshaallah pak, kami akan kesini lagi membawa tim, sekarang kita tidak membawa obat yang cukup, hari minggu besok BSMI juga sudah janji dengan warga Muslim di Araboda untuk pengobatan, semoga minggu sekali lagi BSMI bisa kesini." Meyakinkan anaknya pak Okilik kalau kami Inshaallah akan kesini lagi.

Di luar semakin remang, saatnya untuk pamitan. Pemandangan haru kembali di sini melepas kami,satu persatu keluarga beliau menyalami kami dan mengucapkan terimakasih, kami sempatkan foto-foto bersama keluarga beliau sebelum berangkat. Anaknya yang bernama Rohim dan beberapa anak-anak kecil mengantar kami sampai di tempat kenderaan tadi yang kami tinggal.

Hujan masih gerimis awan hitam makin pekat menyelimuti Lembah Baliem, masih terngiang cerita pak Okilik bagaimana perjuangan beliau mempertahankan keIslamannya. Semoga kita semakin banyak yang peduli dengan kondisi saudara-saudara kita. Banyak dari mereka yang membutuhkan bantuan kita meski mereka tidak pernah meminta. Salam kami dari Lembah Baliem Papua.

Foto bersama keluarga Pak Okilik Lani

*tulisan kiriman email dari dr Mukri Nasution

Komentar