Perang Dua Dunia




Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)
dakwatuna.com – Pertarungan dan benturan (clash) antara kebenaran dan kebatilan akan terus berlangsung sampai akhir zaman. Sebagian kebatilan menjasad dalam kedzaliman. Karena itulah, Alquran terus mengulangi kisah perlawanan terhadap kedzaliman ini. Baik kedzaliman eksternal maupun kedzaliman internal. Meski tidak menjadi satu-satunya representasi kedzaliman, kisah Firaun seiring dijadikan kaca cermin untuk menilik akhir cerita dari sebuah rezim kedzaliman. Secara khusus cerita Firaun – Musa mendominasi kisah-kisah Alquran. Ini adalah bentuk perlawanan kedzaliman eksternal. Setelah usainya kisah antagonis tersebut ada babak baru yang dijalani Bani Israil. Kisah ini panjang terurai sejak dari surat al-Baqarah sampai surat-surat setelahnya di dalam Alquran.

Mengapa cerita perseteruan dua kubu tersebut selalu ada. Di mana pun, kapan pun dan diperankan oleh siapapun? Seolah keduanya menjadi salah satu sisi dari dua sisi mata uang logam.

Kisah perseteruan abadi ini setidaknya bisa kita baca dalam Firman Allah berikut:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا ۚ وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُ ۖ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ

Artinya:
Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (QS. Al-An’am [6]:112)

Setiap nabi yang diutus Allah di bumi untuk menyampaikan risalah tauhid-Nya maka akan selalu ada tokoh antagonis utama yang akan menentang mereka. Mereka disebut Alquran dengan nama “syayathîn” (setan-setan). Dalam firman di atas –menariknya- dideskripsikan dengan detil jenis mereka. Yaitu setan dari kalangan jin dan manusia yang saling bekerjasama dan berbisik di antara mereka untuk menghalau dan menghalangi misi risalah para nabi.
Ciri utama mereka yaitu membuat “ifitrâ” (mengada-ada, mendustakan dan mengelabuhi). Dan ini menjadi ruh serta spirit perlawanan mereka serta secara kontinyu disampaikan antar mereka dan antar generasi. Sehingga saat seorang nabi diutus ke bumi oleh Allah maka yang akan menjadi musuhnya adalah setan dari dua alam. Setan yang berjenis manusia serta setan yang berjenis jin.

Setan-setan tersebut, baik dari kalangan manusia dan jin selalu menebarkan kebencian mereka kepada nabi Allah serta para penerus risalahnya. Maka mereka akan senantiasa menyusup dalam setiap pertikaian dan perseteruan. Memanfaatkannya untuk mendesak para penerus risalah kenabian.

Ada sebuah ideologi dalam setiap pertarungan besar. Meski disamarkan tetap akan terungkap dan bisa diketahui oleh banyak orang.

Demikian halnya setiap kedzaliman yang muncul maka itu adalah ideologi kebatilan yang sedang berusaha menghancurkan kebenaran. Menindas habis dan memberangus para pembelanya serta orang-orang memperjuangkannya.

Sangat naif untuk dikatakan bahwa yang terjadi di Palestina bukanlah pertarungan antara haq dan bathil. Dari sudut pandang humanis saja sudah bisa disimpulkan bahwa ada kedzaliman dipertontonkan dan dipertunjukkan serta disamarkan menjadi sebaliknya. Sebutlah satu persatu bukti tersebut: pengusiran paksa atas penduduknya, penangkapan, agresi militer, pembangunan pemukiman-pemukiman Zionis secara ilegal. Lebih dari itu hal-hal yang tersebut tadi tidaklah ada artinya tanpa pendudukan dan penjajahan terhadap tanah suci Al-Quds. Dan termasuk di dalamnya, Masjid al-Aqsha. Pelan namun pasti sejarah dipalsukan dan kebenarannya dihapuskan untuk kemudian dimonopoli dengan sebuah hegemoni keangkuhan dan perampasan kedaulatan yang sah serta merenggut kebebasan. Umat Islam tak lagi mengenal lagi “Hâ’ith Burâq” (tembok tambatan Buraq) dan pintu Maghâribah. Karena tempat tersebut sudah dirampas secara paksa oleh Zionis Israel dan dijadikan “tembok ratapan” tempat mengirim doa-doa dan memanjatkan permohonan bagi orang-orang Yahudi.

Mimbar bersejarah yang dibuat oleh Sultan Nuruddin Az-Zanky dua puluh tahun sebelum ditaklukkannya al-Quds oleh Shalahuddin. Adalah simbol keteguhan dan spirit tanpa menyerah untuk mengambil alih kembali hak yang dirampas. Sayangnya, pada tahun 1969 mimbar tersebut dibakar dan kemudian hanya menyisakan luka setiap kita mengingat kejadiannya.
Terdapat jutaan orang terusir dari tempat kelahirannya. Terkatung-katung di negeri orang. Meski sebagian mendapat penerimaan baik, namun seenak-enak tinggal di tempat asing tidaklah senyaman berada di rumah sendiri. Pemukiman-pemukiman sementara itu lantas menjelma tempat “abadi”. Bertahun-tahun para pengungsi itu hidup di sana. Sebagian kemudian meninggal di sana. Sebagian bertemu jodoh dan berketurunan di sana.

Yang masih berada di kota-kota tua merasakan setiap malamnya adalah ancaman penangkapan dan pengusiran. Jika ada seorang lelaki yang diringkus oleh serda-serdadu kedzaliman, maka seolah harapan untuk kembali ke rumah nyaris tiada. Terutama jika ia beridentitas “al-Maqdisy” (penduduk al-Quds). Jika ia tak memilih hijrah meninggalkan kotanya. Maka saat ia ditangkap itu berarti ia takkan kembali ke sana.

Sebagian tertekan hidupnya secara ekonomi harus terhimpit pajak-pajak kedzaliman yang menindasnya. Anak-anak muda dipersulit mendapatkan pekerjaan yang menghasilkan upah laik untuk sekadar menyambung hidupnya juga hidup keluarganya.

Semuanya tidak terjadi begitu saja. Ada kedzaliman yang menginginkan hal itu terjadi. Kesatuan ideologi kebathilan inilah yang terus membiarkan Gaza terus berada dalam blokade dan terisolir dari dunia luar. Sekaligus memisahkannya dari Tepi Barat serta mengadu domba antar mereka yang sedang diamanahi rakyat untuk mengelola keterbatasan tersebut.

Perbedaan latar belakang dan cara berinteraksi menjadikan faksi-faksi yang ada di dalamnya “seolah” pecah serta tak mampu padu. Dikarenakan sebagian mengambil jalan perundingan yang dijanjikan “sang penjajah”. Sebagian lagi melihat bahwa jalan “perlawanan” adalah bahasa yang tepat untuk mengusir “kedzaliman” dari negeri yang diberkahi tersebut.
Sebenarnya kedua faksi besar di atas bisa bergabung menjadi kekuatan yang ditakuti musuh-musuhnya. Sayangnya itu belum terjadi lagi saat ini. Karena berbagai faktor dan sebab.

Jika ada aksi perlawanan maka sejatinya itu bahasa yang sedang ditunjukkan merespon berbagai jenis kedzaliman yang terjadi dan didiamkan oleh sebagian besar penduduk dunia. Atau kalaupun direspon maka respon yang ada tidak berpengaruh banyak pada mentalitas para penjajah yang acuh dengan keputusan apapun. Pemukiman-pemukiman ilegal tetap saja berjalan meski menuai cela dan dikecam orang seluruh dunia. Agresi militer dan penangkapan tak manusiawi tergadap para aktivis perlawanan tetap saja terjadi ditengah protes dunia yang bertubi-tubi.

Umat Islam pada dasarnya tak pernah lebih menyukai untuk memilih pertempuran atau benturan fisik. Karena hal tersebut sangat merugikan. Tapi jika keadaan yang memaksa demikian maka tidaklah mungkin untuk mundur apalagi menyerah.

Karena Islam sangat menyintai kedamaian dan ketenangan serta kedamaian.
Setiap dua orang atau dua kelompok dari umat Islam bertemu dianjurkan untuk saling bertegur sapa dan memulainya dengan ucapan salam “as-salâmu alaikum warahmatulLâhi wa barakâtuh”. Mengingatkan misi kedamaian agama Islam sekaligus doa untuk orang yang ditemuinya. Demikian halnya dalam ritual shalat kita bisa melihat, kata yang diucapkan untuk mengakhiri shalat adalah “salâm”  (kedamaian) dan “rahmah” (kasih sayang). Allah juga menyediakan “rumah kedamaian” (dâr as-salâm) di surga-Nya seperti tutur Alquran berikut:
Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam).” (QS. Yunus [10]: 25).

Islam menegaskan sebagai agama damai serta menjadikannya sebagai salah satu unsur penting serta prinsip dasar dalam Alquran serta sebagai cahaya penerang. Alquran menamakannya sebagai jalan kedamaian dan keselamatan “subul as-salâm”. Firman Allah:
يَهْدِي بِهِ اللَّهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَهُ سُبُلَ السَّلَامِ وَيُخْرِجُهُم مِّنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِهِ وَيَهْدِيهِمْ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (QS. Al-Maidah [5]: 16).

Salah satu dari sekian nama-nama Allah adalah “as-Salâm
Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala Keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. Al-Hasyr [59]: 23)

Dalam kondisi tenang dan damai tidak berarti membuat seorang mukmin menjadi terlena. Ia harus terus menempa ketahanan dirinya serta siap dan waspada terhadap setiap serangan yang membahayakan dirinya. Karena orang yang nyaman dan merasa aman karena merasa berada dalam zona aman dan damai cenderung terlena sehingga tidak siap terhadap keadaan terburuk yang mungkin saja bisa terjadi.

Itulah barangkali rahasia yang terungkap dalam Firman Allah yang menyebutkan kuda-kuda  dengan berbagai kondisinya dalam surat al-‘Âdiyât berikut:
Demi kuda perang yang berlari kencang dengan terengah-engah, dan kuda yang mencetuskan api dengan pukulan (kuku kakinya), dan kuda yang menyerang dengan tiba-tiba di waktu pagi, maka ia menerbangkan debu, dan menyerbu ke tengah-tengah kumpulan musuh.” (QS. al-‘Âdiyât [100]: 1-5)

Sebagai pendukung dalam firman Allah berikut:
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).” (QS. Al-Anfal [8]: 60)

Kata “kuda-kuda yang ditambat” mengindikasikan bahwa umat Islam dalam kondisi apapun senantiasa harus siap secara mental serta fisik untuk mengantisipasi kondisi “terburuk” sekalipun. Untuk memberi efek psikis pada musuh-musuh yang selalu mengintai (lebih detil bisa dilihat dalam tulisan sebelumnya: PSY WAR)

Hal-hal di atas mengindikasikan perlunya membangun kekuatan citra persatuan dan kualitas pertahanan yang baik umat Islam. Agar para pengintai dan musuh berpikir berkali-kali untuk mempertontonkan kedzaliman yang mereka timbulkan.

Sebagaimana perjuangan umat Islam di manapun disatukan oleh sebuah ideologi, maka setiap kedzaliman sudah pasti akan didukung oleh kedzaliman serupa. Karena orang-orang mazhlum pun dibela oleh sesamanya yang juga orang-orang didzalimi.
Itulah yang menjadikan orang-orang munafik bersaudara (ikhwan) dengan orang-orang kafir dari kalangan ahli kitab untuk memerangi Rasulullah SAW.

Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang munafik yang berkata kepada saudara-saudara mereka yang kafir di antara ahli kitab: “Sesungguhnya jika kamu diusir niscaya kamipun akan keluar bersamamu; dan kami selama-lamanya tidak akan patuh kepada siapapun untuk (menyusahkan) kamu, dan jika kamu diperangi pasti kami akan membantu kamu”. Dan Allah menyaksikan bahwa Sesungguhnya mereka benar-benar pendusta.” (QS. Al-Hasyr [59]: 11)

Sebagaimana kaum muhajirin bersaudara dengan kaum anshar padahal sebelumnya mereka adalah dua golongan berbeda yang bukan siapa-siapa, tak ada ikatan nasab dan kesukuan sebelumnya.

Perseteruan yang haq dan batil –sekali lagi- tidaklah terjadi di antara manusia. Karena setan itu menjelma dalam diri makhluk lain juga selain manusia. Setan dalam bentuk jin dan dalam bentuk manusia. Kedua golongan besar tersebut saling menopang kedzaliman yang mereka pertontonkan dan dukung. Maka pertarungan yang kita hadapi adalah pertarungan dua alam. Dan bisa jadi musuh kita adalah mereka yang tak terlihat baik oleh kasat mata, “Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dan suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka.” (QS. Al-A’râf [7]:) atau mereka yang selama ini kita kenal sebagai orang-orang dekat dengan kita, namun mereka mengkhianatai nilai dan tujuan perjuangan kita.
Maka kekuatan fisik saja tak cukup untuk melawan jenis kedzaliman-kedzaliman dua alam ini. Kita harus memohon kepada Allah untuk mengalahkan mereka sekaligus tunjukkan tanda-tanda kekuasann-Nya di depan para makhluk-Nya. Agar tetap ada jalan untuk bertaubat dan kembali bagi mereka yang tersesat sebelumnya. WalLâhu al-Musta’ân.
Dr. Saiful Bahri, MA

Tentang Dr. Saiful Bahri, MA

Alumni Program S3 Jurusan Tafsir dan Ilmu-ilmu Al-Quran, Universitas Al-Azhar, Kairo-Mesir. Ketua PPMI Mesir, 2002-2003. Wakil Ketua Komisi Seni Budaya Islam MUI Pusat (2011-Sekarang). Ketua Asia Pacific Community for Palestine

Komentar