Sabtu, 01 Oktober 2011
TIDAK seperti biasanya, sore itu, ketika jam telah menunjukkan waktu istirahat kerja, Sholeh, yang kesehari-hariannya mengais riski sebagai tukang bangunan itu, langsung bergegas ke kamar mandi, guna membersihkan diri.
Tidak lama kemudian, setelah selesai, dia pun pamitan kepada teman-temannya untuk pulang. Teman-temannya, merasakan, Sholeh sedang terburu-buru.
”Gak duduk dulu, pak, Melepas lelah sebentar. Kan baru saja selesai bekerja?”, ujar salah satu dari mereka.
”Ndak usah. Soalnya di rumah sudah ada yang menunggu,” jawab Sholeh memberikan alasan kepada kerabat-kerabatnya.
Sholeh berharap secepat mungkin tiba di rumah. Entah mengapa, sore itu, angkutan pedesaan yang biasanya hilir-mudik setiap saat. Tidak biasanya kendaraan seramai itu. Sudah setengah jam dia menunggu.
Sholeh makin gundah. Pasalnya, di rumah telah menanti kedatangannya puluhan anak tetangga untuk belajar ngaji. Dan hari itu, merupakan hari perdana dia mengajar. Wajar kalau dia khawatir mengecewakan para muridnya.
Karena tidak ingin menunggu lebih lama lagi, laki-laki yang telah berkepala lima ini, pun akhirnya memutuskan jalan kaki.
Butuh setengah jam lebih untuk Sholeh menempuh perjalanan, guna sampai rumahnya. Padahal, kalau saja ada angkutan pedesaan, tidak kurang dari sepuluh menit dia sudah sampai tempat tujuan.
Dengan sisa-sisa tenaganya yang telah terkuras karena seharian bekerja, Sholeh mulai melangkahkan kakinya
selangkah demi selangkah.
Benar saja, setibanya di rumah, nampak anak-anak telah berjubel, memenuhi ruang tamu yang luasnya berkisar 6x4 Meter persegi itu, dan bertembokkan gedek (anyaman bambu).
”Assalamu’alaikum, maaf yah, bapak terlambat datangnya. Dan ini bapak mau sholat Ashar dulu, baru setelah itu kita mengaji,” sapanya kepada anak- didiknya, dengan kondisi keringat masih bercucuran.
”Ia, ustad,” jawab mereka serempak.
’Terpaksa’ Jadi Guru
Menjadi guru, lebih-lebih guru ngaji, adalah sesuatu yang sangat tidak terpikirkan oleh Sholeh sebelumnya. Dia hanyalah seorang laki-laki yang akrab dengan pekerjaan keras. Pada tahun sembilan puluhan, dia pernah merantau di Jakarta, dan bekerja di salah satu rumah makan. Pernah pula ia menjadi buruh bangunan di salah satu bandara di ibu kota tersebut.
Ceritanya, terdapatlah salah satu mushalla yang letaknya tidak jauh dari tempat tinggal Sholeh. Di mushalla itu, ada anak-anak belajar ngaji yang jumlahnya puluhan.
”Mungkin berkisar 60-70 anakaan”, ujar Sholeh mengingat jumlah santri dan santriwati saat itu.
Setiap hari, mereka belajar di situ. Pengajarnya, dua pemuda, yang salah satunya adalah putra Sholeh sendiri. Suatu hari, salah satu guru mengajinya, melanjutkan kuliah di kota Pahlawan, Surabaya. Dampaknya sangat terasa, terbengkalailah mushalla tersebut, termasuk puluhan anak yang mengaji di sana.
Herannya, tak satu pun dari warga yang berinisiatif menyelamatkan kehidupan mushalla tersebut.
Menurut Haris, mantan guru ngaji yang kini sedang menyelesaikan studi di Kota Surabaya, penyebabnya, tidak lain karena banyak warga setempat tidak bisa mengaji.
Maka, jadilah murid-murid Mushalla tersebut bak anak ayam kehilangan induknya. “Mereka pun tidak pernah ke mushalla untuk mengaji lagi. Hampir dua tahun, kondisi ini terus berlanjut,” ujar Haris kepada hidayatullah.com.
Kondisi demikian itulah yang membuat hati Sholeh bergerak untuk menyelamatkan para tunas muda tersebut.
Dia mencoba mendekati beberapa pemuda untuk diajak bersama-sama mengajar ngaji, namun tak satu pun mereka menyanggupi.
Tak ingin patah arang, akhirnya Sholeh memutuskan untuk mengajar sendiri murid-murid tersebut.
Karena keterbatasan tenaga dan waktu, dia hanya menerima separuh dari jumlah keseluruhan murid musholla itu. Tempat mengajinya pun dialokasikan ke rumahnya sendiri.
”Karena kondisi fisik tidak memungkinkan saya untuk mengajar mereka semua, ya saya ambil separuhnya saja. Termasuk dipilihnya tempat ngaji di rumah sini. Hanya untuk mempermudah,” ujar laki-laki yang rambutnya telah memutih ini.
Minus Anggaran
Sejatinya, selain permasalaha SDM (Sumber Tenaga Manusia), Sholeh juga memiliki persoalan finansial dalam membina murid-muridnya. Misal, untuk memenuhi sarana dan prasarana mengaji, seperti karpet, dia harus mengeluarkan koceknya sendiri. Padahal, gaji sebagai tukang bangunan tidak lah seberapa. Itupun, hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari keluarganya.
Untungnya, satu ketika, ada salah satu darmawan yang dengan sukarela mengetaskan permasalahan tersebut. Dia menyediakan bagi Sholeh beberapa kursi yang terbuat dari kayu, sekaligus mejanya. Dan itu lah yang dijadikan tempat duduk para murid Sholeh hingga saat ini.
Pernah juga, suatu hari ketika tiba salah satu peringatan hari besar Islam (PHBI), anak didiknya merengek untuk mengadakan perlombaan antar mereka guna memeriahkan hari raya tersebut. Padahal, uang di saku sama sekali tidak mencukupi untuk menyelenggarakan acara tersebut.
Namun, karena tidak ingin mengecewakan anak muridnya, Sholeh pun, rela meminjam uang ke tetangganya demi mewujudkan keinginan peserta didiknya.
”Karena saking minimnya anggaran, juaranya-pun hanya dipilih yang juara satu saja. Selebihnya tidak dapat,” kenangnya.
Sekali pun demikian, Sholeh tetap bahagia menjalankan rutinitasnya sehari-hari, baik itu sebagai tukang bangunan, atau pun ketika mengajar ngaji pada sore harinya. Semoga berbarokah, ya pak!*/Robinsah
sumber. hidayatullah.com
Komentar
Posting Komentar