Berikut Ringkasan Buku Delapan Mata Air Kecemerlangan
Mata Air Pertama: Konsep Diri
Konsep diri adalah suatu kesadaran pribadi yang utuh, kuat, jelas, dan mendalam tentang visi dan misi hidup; pilihan jalan hidup beserta prinsip dan nilai yang membentuknya; peta
potensi; kapasitas dan kompetensi diri; peran yang menjadi wilayah
aktualisasi dan kontribusi; serta rencana amal dan karya unggulan.
Konsep Diri menciptakan perasaan terarah dalam struktur kesadaran
pribadi kita. Keterarahan adalah salah satu mata air kecemerlangan.
Konsep
Diri manusia Muslim adalah kesadaran yang mempertemukan antara
kehendak-kehendaknya sebagai manusia; antara model manusia Muslim yang
ideal dan universal dengan kapasitas dirinya yang nyata dan unik, antara nilai-nilai Islam yang komprehensif dan integral dengan keunikan-keunikan pribadinya sebagai individu; antara ruang aksi dan kreasi yang disediakan Islam dengan kemampuan pribadinya untuk beraksi dan berkreasi; dan antara idealisme Islam dengan realitas pribadinya.
Mata Air Kedua: Cahaya Pikiran
Perubahan,
perbaikan, dan pengembangan kepribadian harus selalu dimulai dari
pikiran kita. Sebab, tindakan, perilaku, sikap, dan kebiasaan kita
sesungguhnya ditentukan oleh pikiran-pikiran yang memenuhi benak kita.
Bukan hanya itu, semua emosi atau perasaan yang kita rasakan dalam jiwa
kita seperti kegembiraan dan kesedihan, kemarahan dan ketenangan, juga
ditentukan oleh pikiran-pikiran kita. Kita adalah apa yang kita
pikirkan.
Maka, kekuatan kepribadian kita akan terbangun saat kita mulai memikirkan pikiran-pikiran kita sendiri, memikirkan cara
kita berpikir, memikirkan kemampuan berpikir kita, dan memikirkan
bagaimana seharusnya kita berpikir. Benih dari setiap karya-karya besar
yang kita saksikan dalam sejarah, selalu terlahir pertama kali di sana:
di alam pikiran kita. Itulah ruang pertama dari semua kenyataan hidup
yang telah kita saksikan.
Mata Air Ketiga: kekuatan Tekad
Tekad
adalah jembatan di mana pikiran-pikiran masuk dalam wilayah fisik dan
menjelma menjadi tindakan. Tekad adalah energi jiwa yang memberikan
kekuatan kepada pikiran untuk merubahnya menjadi tindakan.
Pikiran
tidak akan pernah berujung dengan tindakan, jika ia tidak turun dalam
wilayah hati, dan berubah menjadi keyakinan dan kemauan, serta kemudian
membulat menjadi tekad. Begitu ia menjelma jadi tekad, maka ia
memperoleh energi yang akan merangsang dan menggerakkan tubuh untuk
melakukan perintah-perintah pikiran.
Bila
tekad itu kuat dan membaja, maka tubuh tidak dapat, atau tidak sanggup
menolak perintah-perintah pikiran tersebut. Akan tetapi, bila tekad itu
tidak terlalu kuat, maka daya rangsang dan geraknya terhadap tubuh tidak
akan terlalu kuat, sehingga perintah-perintah pikiran itu tidak terlalu
berwibawa bagi tubuh kita.
Maka,
kekuatan dan kelemahan kepribadian seseorang sangat ditentukan oleh
sebesar apa tekadnya, yang merupakan energi jiwa dalam dirinya. Tekad
yang membaja akan meloloskan setiap pikiran di sleuruh prosedur
kejiwaan, dan segera merubahnya menjadi tindakan.
Mata Air Keempat: Keluhuran Sifat
Pada akhirnya semua kekuatan internal
–kosep diri, pikiran dan tekad- yang telah kita bangun dalam diri kita,
haruslah bermuara pada munculnya sifat-sifat keluhuran. Kecemerlangan
seseorang di dalam hidup sesungguhnya berasal –salah satunya- dari mata
air keluhuran budi pekertinya. Dari mata air keluhuran itu, semua
nilai-nilai kemanusiaan yang mulia terjalin menjadi satu kesatuan, dan
menampakkan diri dalam bentuk sifat-sifat terpuji.
Sifat-sifat
itulah yang akan tampak di permukaan kepribadian kita, mewakili
keseluruhan pesona kekuatan kepribadian yang kita miliki, yang
sebagiannya terpendam di kedalaman dasar kepribadian kita. Kekuatan
pesona sifat-sifat keluhuran itu seperti sihir, yang akan menaklukkan
akal dan hati orang-orang yang ada di sekitarnya, atau yang bersentuhan
dengannya secara langsung.
Setiap
sifat memiliki akar tersendiri yang terhunjam dalam di kedalaman
pikiran dan emosi kita. Seperti juga pohon, sifat-sifat itu tersusun
sedemikian rupa di mana sebagian mereka melahirkan sebagian yang lain.
Ada sejumlah sifat-sifat tertentu yang berfungsi seperti akar pada
pohon, yang kemudian tumbuh berkembang menjadi batang, dahan dan ranting,
daun dan buah. Demikianlah kita tahu bahwa semua sifat keluhuran
berakar pada lima sifat: cinta kebenaran, kesabaran, kasih sayang,
kedermawanan, dan keberanian.
Mata Air Kelima: Manajemen Aset Fundamental
Obsesi-obsesi
besar, pikiran-pikiran besar, dan kemauan-kemauan besar selalu
membutuhkan daya dukung yang juga sarana besarnya. Salah satunya dalam
bentuk pengelolaan dua aset fundamental secara baik, yaitu kesehatan dan
waktu.
Fisik
adalah kendaraan jiwa dan pikiran. Perintah-perintah pikiran dan
kehendak-kehendak jiwa tidak akan terlaksana dengan baik, bila fisik
tidak berada dalam kondisi kesehatan yang prima. Kadang-kadang, jumlah
“penumpang” yang mengendarai fisik kita melebihi kapasitasnya dan
membuatnya jadi oleng. Akan tetapi, perawatan yang baik akan menciptakan
keseimbangan yang rasional antara muatan dan kapasitas kendaraan.
Waktu
adalah kehidupan. Setiap manusia diberikan kehidupan sebagai batas masa
kerja dalam jumlah yang berbeda-beda, yang kemudian kita sebut dengan
umur yang terbentang dari kelahiran hingga kematian. Tidak ada manusia
yang mengetahui akhir dari batas masa kerja itu, yang kemudian kita
sebut ajal. Hal itu menciptakan suasana ketidakpastian, tetapi itulah
aset paling berharga yang kita miliki.
Ibarat
menempuh sebuah perjalanan yang panjang, fisik kita berfungsi sebagai
kereta, dan waktu yang terbentang jauh atau dekat, seperti rel kereta.
Seorang masinis boleh menentukan stasiun terakhir yang kita tuju, tetapi
dia harus menjamin bahwa kereta yang dikemudikannya dan rel yang akan
dilewatinya benar-benar berada dalam keadaan baik.
Kesehatan
dan waktu adalah dua perangkat keras kehidupan yang sangat terbatas.
Akan tetapi, manusia-manusia cemerlang selalu dapat meraih sesuatu
secara maksimal dari semua keterbatasan yang melingkupinya.
Mata Air Keenam: Integrasi Sosial
Kemampuan
beradaptasi dengan lingkungan masyarakat di mana kita berada bukan saja
merupakan ukuran kematangan pribadi seseorang, tetapi lebih dari itu.
Sebab, lingkungan sosial kita harus dipandang sebagai wadah kita untuk
menyemai semua kebaikan yang telah kita kembangkan dalam diri.
Dengan cara
pandang ini, maka setiap diri kita akan membangun hubungan sosialnya
dengan semangat partisipasi: menyebarkan bunga-bunga kebaikan di taman
kehidupan masyarakat kita.
Dengan
semangat ini, maka semua usaha kita untuk menciptakan keharmonisan
sosial menjadi niscaya. Bukan saja karena dengannya kita dapat
menyebarkan kebaikan yang tersimpan dalam diri kita, tetapi juga karena
kita menciptakan landasan yang kokoh untuk meraih kesuksesan, berkah
kehidupan, dan kebahagiaan dalam hidup.
Jika
kematangan pribadi merupakan landasan bagi kesuksesan sosial, maka
kesuksesan sosial merupakan landasan bagi kesuksesan lain dalam hidup,
seperti kesuksesan profesi.
Mata Air Ketujuh: Kontribusi
Kehadiran
sosial kita tidak boleh berhenti pada tahap partisipasi. Harus ada
langkah yang lebih jauh dari sekadar itu. Harus ada karya besar yang
kita kontribusikan kepada masyarakat, yang berguna bagi kehidupan
mereka; sesuatu yang akan dicatat sebagai jejak sejarah kita, dan
sebagai amal unggulan yang membuat kita cukup layak mendapatkan ridha
Allah SAW dan sebuah tempat terhormat dalam surga-Nya.
Kontribusi
itu dapat kita berikan pada wilayah pemikiran, atau wilayah
profesionalisme, atau wilayah kepemimpinan, atau wilayah finansial, atau
wilayah lainnya. Namun, kontribusi apa pun yang hendak kita berikan,
sebaiknya memenuhi dua syarat: memenuhi kebutuhan masyarakat kita dan
dibangun dari kompetensi inti kita. Masyarakat adalah pengguna
karya-karya kita, maka yang terbaik yang kita berikan kepada mereka
adalah apa yang paling mereka butuhkan, dan apa yang tidak dapat
dipenuhi oleh orang lain. Akan tetapi, kita tidak dapat berkarya secara
maksimal di luar dari kompetensi inti kita. Karena itu, kita harus
mencari titik temu diantara keudanya.
Caranya
adalah sebagai berikut: buatlah peta kebutuhan kondisional masyarakat
kita, dan kemudian buatlah peta potensi kita, untuk menemukan kompetensi
inti diri kita. Apabila titik temu itu telah kita temukan, maka masih
ada satu lagi yang harus kita lakukan; menjemput momentum sejarah untuk
meledakkan potensi kita menjadi karya-karya besar yang monumental. Ini
semua mengharuskan kita memiliki kesadaran yang mendalam akan tugas
sejarah kita sebagai pribadi, sekaligus firasat yang tajam tentang
momentum-momentum sejarah kita.
Mata Air Kedelapan: Konsistensi
Sebagai
manusia beriman, kita meyakini sebuah prinsip, bahwa bagian yang paling
menentukan dari seseorang adalah akhir hidupnya. Maka, persoalan paling
berat yang kita hadapi sesungguhnya bukanlah mendaki gunung, tetapi
bagaimana bertahan di puncak gunung itu hingga akhir hayat.
Mengukir
sebuah prestasi besar dalam hidup dan mempertahankannya hingga akhir
hayat, adalah dua misi dan tugas hidup yang berbeda; berbeda pada
kapasitas energi jiwa yang diperlukannya, berbeda pada proses-proses
psikologisnya, berbeda pula pada ukuran kesuksesannya.
Untuk
dapat bertahan di puncak, kita harus menghindari jebakan-jebakan
kesuksesan, seperti rasa puas yang berlebihan atau perasaan menjadi
besar dengan kesuksesab yang telah kita raih. kita harus mempertahankan
obsesi pada kesempurnaan pribadi, melakukan perbaikan berkesinambungan,
melakukan perbaikan berkesinambungan, melakukan pertumbuhan tanpa batas
akhir, dan mempertahankan semangat kerja dengan menghadirkan kerinduan
abadi kepada surga dan kecemasan abadi dari neraka, serta menyempurnakan
semua usaha-usaha manusiawi kita dengan berdoa kepada Allah untuk
mendapatkan husnul khatimah. Semua itu agar kita menjemput takdir
sejarah kita yang terhormat di bawah naungan ridha Allah SWT, dan agar
kita kelak menceritakan episode panjang kepahlawanan ini kepada
saudara-saudara kita di surga.
Membaca buku ini akan mengantarkan kita kepada pengenalan akan cara
menguatkan kualitas diri. Diawali dari kesadaran akan peran, Delapan
Mata Air Kecemerlangan akan menegaskan bahwa tujuan hidup itu sudah given.
Yang harus kita lakukan adalah memilih peran. Tetapi memaksimalkan peran harus kita lakukan dengan memahami satuan waktu sebagai bekal untuk menghasilkan satuan amal. Selebihnya adalah bagaimana kita bermanfaat bagi sesama.
Yang harus kita lakukan adalah memilih peran. Tetapi memaksimalkan peran harus kita lakukan dengan memahami satuan waktu sebagai bekal untuk menghasilkan satuan amal. Selebihnya adalah bagaimana kita bermanfaat bagi sesama.
Komentar
Posting Komentar