Oleh Abi Sabila
Aku sengaja tetap bertahan meskipun sebagian besar jamaah sholat Idul Adha sudah pulang ke rumah masing-masing. Bahkan sampai semua tikar yang dihamparkan di halaman mushola sudah selesai dirapihkan, aku masih menunggu lelaki itu menyelesaikan sholat dhuhanya. Ada sesuatu yang membuatku penasaran dan ingin segera kudapatkan jawaban darinya.
Lelaki bersarung coklat itu datang kurang lebih tiga puluh menit sebelum sholat idul adha dimulai, hanya berselang beberapa menit setelah kedatanganku. Dia mengambil tempat duduk tepat di samping kananku. Sejak kedatangannya, dia lebih banyak menunduk. Suara takbirnya hanya samar-samar kudengar. Beberapa kali aku sempat menangkap gerakan tangannya mengusap mukanya. Lebih tepatnya menghapus air mata yang meleleh di pipinya.
Gerak tangannya yang sebisa mungkin dia sembunyikan dari orang banyak itu semakin sering kulihat ketika sang khotib mulai menyampaikan khutbah Idul Adha pagi itu. Barangkali tidak banyak jamaah yang menyadari hal ini, namun dia tak bisa menyembunyikannya dariku yang secara diam-diam memperhatikan gerak-geriknya sejak awal kedatangannya. Aku tahu persis saat isakan tangis tak dapat ditahannya, juga ketika pundaknya terguncang setiap khotib melafalkan kalimat "Laabaik Allohuma Laabaik...Labaik kalasyarikala labbaik..."
“Maaf, jika karena saya kekhusyukan Mas jadi terganggu,” suaranya masih serak ketika lelaki itu menjawab pertanyaanku mengapa dia menangis saat khotib menyampaikan khutbah tadi. Wajahnya tertunduk, dia terlihat salah tingkah di depanku.
“Oh nda, justru aku yang minta maaf. Mungkin aku yang terlalu ingin tahu persoalan pribadi Mas,” jawabku agak gugup. Jujur aku jadi malu dan baru sadar, jangan-jangan rasa penasaranku sudah melanggar batas privasinya.
“Betul Mas, tadi saya menangis saat mendengar khutbah ustadz tadi, bahkan sejak saya datang di mushola ini sebenarnya sudah tak bisa menahan perasaan saya. Saya menangis karena saya rindu, rindu sekali…” suara laki-laki yang terlihat segar dengan baju koko warna hijau muda itu terhenti. Dia tertunduk, entah malu atau masih mencoba menata perasaanya.
“Mas rindu dengan keluarga? Rindu orang tua, anak atau Istri?” tanyaku semakin penasaran.
Dia tak langsung menjawab. Kulihat dia menarik nafas cukup panjang. Kupastikan dia sedang menata perasaanya sebelum menjawab pertanyaanku.
“Bukan! Kedua orang tua saya hari ini justru baru datang dari kampung. Pagi tadi mereka sampai di rumah kakak saya di Cibitung. Kalau Istri dan anak saya kan ada di sini, kumpul dengan saya setiap hari. Siang nanti kami akan kesana, berkumpul dengan saudara-saudara yang lainnya. Kebetulan besok kakak saya akan mengadakan resepsi pernikahan salah satu anaknya.”
Aku terdiam, menunggu penjelasannya lebih lanjut. Tak lama kemudian diapun melanjutkan ceritanya.
“Saya rindu Baitulloh, Mas. Saya ingin sekali bisa ziarah ke Mekkah dan Madinah. Saya ingin sujud di depan Ka’bah, bersimpuh di Arafah. Tapi semua itu masihlah mimpi, semuanya karena alasan ekonomi,” kali ini lelaki ini menjawab tanpa memandang ke arahku. Diarahkan pandangannya pada atap tempat wudlu yang baru selesai dikerjakan seminggu yang lalu. Nyata sekali dia tak ingin aku melihat matanya yang kembali berkaca-kaca.
Layaknya orang yang sedang jatuh cinta, ketika rindu menyapa maka bukan hanya makan saja yang tak enak, namun tidurpun menjadi tak nyenyak. Barangkali begitulah rasa rindu yang kini menyelimuti hati dan perasaan lelaki beranak satu ini. Bisa jadi malah rasa rindu itu sudah begitu mendendam, hingga hatinya begitu mudah tersentuh ketika mendengar kumandang takbir.
Beberapa saat kami saling terdiam,menyelami perasaan masing-masing. Timbul perasaan malu dalam hatiku bila mengingat pertanyaanku tadi. Dugaanku ternyata salah, terlalu rendah dan murah mengartikan tangisannya. Dia bukan sekedar merindukan perjumpaan dengan keluarganya, tapi lebih dari itu dia merindukan kehadirannya di Baitulloh.
Kalau keinginan untuk bisa menunaikan ibadah haji, aku rasa bukan hanya aku atau dia, tapi seluruh muslim di penjuru dunia ini memiliki keinginan yang sama. Jangankan yang belum pernah, rata-rata yang sudah pernah ibadah hajipun ingin mengulangnya lagi. Lagi dan lagi. Saat-saat menyimak khutbah Idul Adha adalah saat yang paling mudah menggugah perasaan haru mereka yang sudah menunaikan ibadah haji. Tak heran bila ada seorang khotib yang suaranya menjadi terbata ketika menyampaikan khutbahnya. Kenangan indah di Baitulloh membuat hatinya menjadi mudah tersentuh.
Tapi lelaki yang kini duduk tepat didepanku dan masih belum mau menghadapkan kembali wajahnya kepadaku sedemikian terharunya hingga tak mampu menahan tangis, padahal setahuku dia belum pernah melaksanakan ibadah haji. Kalau bukan karena manisnya kenangan, pastilah karena kerinduan yang mendalam tentang indahnya menjadi tamu Allah yang selama ini baru mampu ia bayangkan. Aku kembali merasa malu. Satu hal yang tak pernah terjadi pada diriku, meski kupastikan bahwa dalam hatikupun sebenarnya merindukan panggilan itu ditujukan kepadaku.
Sesaat kemudian aku tersadar. Aku yang telah membuat suasana hatinya semakin pilu, maka aku pulalah yang harus menghiburnya.
“Mas, sekali lagi saya minta maaf jika pertanyaan saya tadi justru membuat hati Mas semakin sedih. Insha Allah keharuan yang Mas rasakan, kerinduan yang Mas tahankan, mudah-mudahan membukakan jalan dan memudahkan segala urusan untuk bisa mewujudkan mimpi Mas menunaikan ibadah haji. Mungkin tahun sekarang belum, tahun depan siapa tahu. Bukankah Allah Maha Kaya juga Maha Kuasa. Bukan perkara besar bagi Nya memberikan jalan bagi Mas untuk bisa menunaikan ibadah haji. Jagalah terus niat dan keinginan, gunakan waktu menunggu ini untuk mengumpulkan ilmu dan jangan lupa pula untuk terus menabung. Mas sudah mulai menabung kan?” aku mencoba menghiburnya, membangkitkan kembali semangatnya.
Lelaki itu hanya menjawabnya dengan anggukan dan senyuman. Aku membalasnya dengan tersenyum pula. Kujabat erat tangannya, dan kamipun kemudian berpisah. Aku harus segera pulang karena istri dan anakku pasti sudah menunggu di rumah.
***
Saudaraku, dengan dalamnya rindu yang kau rasakan, derasnya air mata yang kau teteskan, semoga Allah memudahkan bagimu jalan untuk bisa mewujudkan impian, harapan dan keinginan menyempurnakan rukun Islam. Bukan hal mustahil jika tahun depan Allah memilihmu menjadi tamuNya, karena Dia Maha Kaya, Maha Kuasa, Maha Berkehendak dan Maha Segalanya. Insya Allah.
www.abisabila.com
Aku sengaja tetap bertahan meskipun sebagian besar jamaah sholat Idul Adha sudah pulang ke rumah masing-masing. Bahkan sampai semua tikar yang dihamparkan di halaman mushola sudah selesai dirapihkan, aku masih menunggu lelaki itu menyelesaikan sholat dhuhanya. Ada sesuatu yang membuatku penasaran dan ingin segera kudapatkan jawaban darinya.
Lelaki bersarung coklat itu datang kurang lebih tiga puluh menit sebelum sholat idul adha dimulai, hanya berselang beberapa menit setelah kedatanganku. Dia mengambil tempat duduk tepat di samping kananku. Sejak kedatangannya, dia lebih banyak menunduk. Suara takbirnya hanya samar-samar kudengar. Beberapa kali aku sempat menangkap gerakan tangannya mengusap mukanya. Lebih tepatnya menghapus air mata yang meleleh di pipinya.
Gerak tangannya yang sebisa mungkin dia sembunyikan dari orang banyak itu semakin sering kulihat ketika sang khotib mulai menyampaikan khutbah Idul Adha pagi itu. Barangkali tidak banyak jamaah yang menyadari hal ini, namun dia tak bisa menyembunyikannya dariku yang secara diam-diam memperhatikan gerak-geriknya sejak awal kedatangannya. Aku tahu persis saat isakan tangis tak dapat ditahannya, juga ketika pundaknya terguncang setiap khotib melafalkan kalimat "Laabaik Allohuma Laabaik...Labaik kalasyarikala labbaik..."
“Maaf, jika karena saya kekhusyukan Mas jadi terganggu,” suaranya masih serak ketika lelaki itu menjawab pertanyaanku mengapa dia menangis saat khotib menyampaikan khutbah tadi. Wajahnya tertunduk, dia terlihat salah tingkah di depanku.
“Oh nda, justru aku yang minta maaf. Mungkin aku yang terlalu ingin tahu persoalan pribadi Mas,” jawabku agak gugup. Jujur aku jadi malu dan baru sadar, jangan-jangan rasa penasaranku sudah melanggar batas privasinya.
“Betul Mas, tadi saya menangis saat mendengar khutbah ustadz tadi, bahkan sejak saya datang di mushola ini sebenarnya sudah tak bisa menahan perasaan saya. Saya menangis karena saya rindu, rindu sekali…” suara laki-laki yang terlihat segar dengan baju koko warna hijau muda itu terhenti. Dia tertunduk, entah malu atau masih mencoba menata perasaanya.
“Mas rindu dengan keluarga? Rindu orang tua, anak atau Istri?” tanyaku semakin penasaran.
Dia tak langsung menjawab. Kulihat dia menarik nafas cukup panjang. Kupastikan dia sedang menata perasaanya sebelum menjawab pertanyaanku.
“Bukan! Kedua orang tua saya hari ini justru baru datang dari kampung. Pagi tadi mereka sampai di rumah kakak saya di Cibitung. Kalau Istri dan anak saya kan ada di sini, kumpul dengan saya setiap hari. Siang nanti kami akan kesana, berkumpul dengan saudara-saudara yang lainnya. Kebetulan besok kakak saya akan mengadakan resepsi pernikahan salah satu anaknya.”
Aku terdiam, menunggu penjelasannya lebih lanjut. Tak lama kemudian diapun melanjutkan ceritanya.
“Saya rindu Baitulloh, Mas. Saya ingin sekali bisa ziarah ke Mekkah dan Madinah. Saya ingin sujud di depan Ka’bah, bersimpuh di Arafah. Tapi semua itu masihlah mimpi, semuanya karena alasan ekonomi,” kali ini lelaki ini menjawab tanpa memandang ke arahku. Diarahkan pandangannya pada atap tempat wudlu yang baru selesai dikerjakan seminggu yang lalu. Nyata sekali dia tak ingin aku melihat matanya yang kembali berkaca-kaca.
Layaknya orang yang sedang jatuh cinta, ketika rindu menyapa maka bukan hanya makan saja yang tak enak, namun tidurpun menjadi tak nyenyak. Barangkali begitulah rasa rindu yang kini menyelimuti hati dan perasaan lelaki beranak satu ini. Bisa jadi malah rasa rindu itu sudah begitu mendendam, hingga hatinya begitu mudah tersentuh ketika mendengar kumandang takbir.
Beberapa saat kami saling terdiam,menyelami perasaan masing-masing. Timbul perasaan malu dalam hatiku bila mengingat pertanyaanku tadi. Dugaanku ternyata salah, terlalu rendah dan murah mengartikan tangisannya. Dia bukan sekedar merindukan perjumpaan dengan keluarganya, tapi lebih dari itu dia merindukan kehadirannya di Baitulloh.
Kalau keinginan untuk bisa menunaikan ibadah haji, aku rasa bukan hanya aku atau dia, tapi seluruh muslim di penjuru dunia ini memiliki keinginan yang sama. Jangankan yang belum pernah, rata-rata yang sudah pernah ibadah hajipun ingin mengulangnya lagi. Lagi dan lagi. Saat-saat menyimak khutbah Idul Adha adalah saat yang paling mudah menggugah perasaan haru mereka yang sudah menunaikan ibadah haji. Tak heran bila ada seorang khotib yang suaranya menjadi terbata ketika menyampaikan khutbahnya. Kenangan indah di Baitulloh membuat hatinya menjadi mudah tersentuh.
Tapi lelaki yang kini duduk tepat didepanku dan masih belum mau menghadapkan kembali wajahnya kepadaku sedemikian terharunya hingga tak mampu menahan tangis, padahal setahuku dia belum pernah melaksanakan ibadah haji. Kalau bukan karena manisnya kenangan, pastilah karena kerinduan yang mendalam tentang indahnya menjadi tamu Allah yang selama ini baru mampu ia bayangkan. Aku kembali merasa malu. Satu hal yang tak pernah terjadi pada diriku, meski kupastikan bahwa dalam hatikupun sebenarnya merindukan panggilan itu ditujukan kepadaku.
Sesaat kemudian aku tersadar. Aku yang telah membuat suasana hatinya semakin pilu, maka aku pulalah yang harus menghiburnya.
“Mas, sekali lagi saya minta maaf jika pertanyaan saya tadi justru membuat hati Mas semakin sedih. Insha Allah keharuan yang Mas rasakan, kerinduan yang Mas tahankan, mudah-mudahan membukakan jalan dan memudahkan segala urusan untuk bisa mewujudkan mimpi Mas menunaikan ibadah haji. Mungkin tahun sekarang belum, tahun depan siapa tahu. Bukankah Allah Maha Kaya juga Maha Kuasa. Bukan perkara besar bagi Nya memberikan jalan bagi Mas untuk bisa menunaikan ibadah haji. Jagalah terus niat dan keinginan, gunakan waktu menunggu ini untuk mengumpulkan ilmu dan jangan lupa pula untuk terus menabung. Mas sudah mulai menabung kan?” aku mencoba menghiburnya, membangkitkan kembali semangatnya.
Lelaki itu hanya menjawabnya dengan anggukan dan senyuman. Aku membalasnya dengan tersenyum pula. Kujabat erat tangannya, dan kamipun kemudian berpisah. Aku harus segera pulang karena istri dan anakku pasti sudah menunggu di rumah.
***
Saudaraku, dengan dalamnya rindu yang kau rasakan, derasnya air mata yang kau teteskan, semoga Allah memudahkan bagimu jalan untuk bisa mewujudkan impian, harapan dan keinginan menyempurnakan rukun Islam. Bukan hal mustahil jika tahun depan Allah memilihmu menjadi tamuNya, karena Dia Maha Kaya, Maha Kuasa, Maha Berkehendak dan Maha Segalanya. Insya Allah.
www.abisabila.com
Komentar
Posting Komentar