"Masa lalu adalah adalah masalah lalu. Saya bukan 'anak kecil' lagi.
Saya sekarang adalah seorang 'lelaki', julukan 'Manusia Jahat' memang
terasa tidak mengenakan, tapi itu bagian dari masa lalu saya," ujar
Robinhood Fernando Carino Padilla, aktor asal Filipina yang pernah
menjadi idola banyak orang di era tahun '90-an lewat film-film laga yang
dibintanginya.
Lebih dikenal dengan nama Robin Padilla, masa lalu lelaki yang lahir dari keluarga pemeluk Kristen Protestan ini, memang kelam meski hidupnya sebagai aktor terkenal bergelimang kemewahan. Namun kemewahan dan popularitas itu yang menjerumuskannya ke dalam dunia malam yang penuh maksiat. Ia terperangkap dalam kehidupan para preman jalanan dan obat-obatan terlarang, sehingga membuat popularitasnya sempat menurun.
Aktor yang sempat dijuluki "The Bad Boy of Philippine Action Movies" karena perannya sebagai anggota gangster berdarah dingin dalam sejumlah film itu, harus berurusan dengan kepolisian Filipina karena sepak terjangnya yang sudah dikatagorikan kriminal. Pada tahun 1994, polisi Filipina menangkapnya dan Padilla dinyatakan bersalah atas dakwaan kepemilikan senjata api ilegal. Pengadilan memvonisnya 21 tahun penjara, tapi pada tahun 1998 ia dibebaskan.
Pengalaman selama mendekam di penjara itulah yang mengubah hidup Padilla. Ia berkenalan dengan Gene Gallopin, seorang muslim dan aktivis hak asasi manusia untuk masyarakat minoritas Muslim di Filipina. Robin mulai mengenal Islam dari diskusi-diskusi panjang tentang agama dengan Gallopin yang juga seorang mualaf, hingga Robin memutuskan untuk masuk Islam dan menggunakan nama islami Abdul Aziz.
Keislaman aktor Filipina kelahiran Manila, 23 November 1967 ini tidak banyak diungkap oleh media massa, sehingga banyak para penggemar Padilla yang terkejut begitu tahu aktor pujaan mereka ternyata sudah menjadi seorang muslim.
Tak lama setelah Padilla bersyahadat, istrinya bernama Liezl, juga masuk Islam. Pasangan mualaf yang dikaruniai lima anak itu pun, mulai menjalani kehidupan sebagai keluarga muslim. Padilla masih melanjutkan karirnya sebagai seorang aktor, tapi setelah menjadi seorang muslim, ia juga banyak melakukan kegiatan sosial keagamaan.
Aktivitasnya di bidang keagamaan itu, membuat Padilla berkali-kali diterpa pemberitaan miring. Ia bahkan dituding punya hubungan dengan kelompok Abu Sayyaf, kelompok muslim di Filipina yang diidentikan sebagai kelompok radikal dan teroris. Tapi bagi Padilla, pemberitaan miring itu merupakan tantangan tersendiri baginya dalam menjalani kehidupan sebagai muslim di negara yang mayoritas pendudukanya beragama Katolik.
Padilla juga membentuk sebuah lembaga advokasi untuk membantu masyarakat Muslim Filipina. Ia pernah ditunjuk sebagai duta Gerakan Pemberantasan Malaria oleh Departemen Kesehatan Filipina karena kiprah organisasi Padilla dalam menanggulangi wabah malaria di negeri itu.
Padilla juga berhasil mengumpulkan dana sebesar satu juta peso Fililpina dalam kegiataan penggalangan dana untuk membangun pemakaman Muslim di kota Norzagaray, provinsi Bulacan.
Mendirikan Madrasah
Di bidang pendidikan, Padilla mewakafkan lahan miliknya di Fairview Park, Quezon City untuk membangun lembaga pendidikan berupa madrasah bagi anak-anak muslim usia prasekolah.
“Para murid akan mendapatkan pelajaran membaca Al-Quran dari guru-guru yang terpilih. Mereka akan tinggal di asrama di lokasi yang sama, dibebaskan dari uang sekolah, buku-buku diberikan gratis, termasuk biaya asrama,” kata Padilla.
Idenya mendirikan madrasah muncul setelah ia mengunjungi kepulauan Basilan dan Jolo di selatan Filipina, yang merupakan bagian dari wilayah Mindanao, wilayah di Filipina yang mayoritas penduduknya Muslim.
"Dari kunjungan saya ke Mindanao, saya menemukan akar dari persoalan yang paling mendesak di sana. Minimnya pendidikan membuat anak-anak Muslim di sana terbelakang," ujar Padilla.
Di awal pendiriannya, cuma ada lima orang guru di sekolah itu, yang sudah menjalani pelatihan di sekolah Islam internasional di Turki. Padilla mengatakan, ia sebenarnya ingin mempekerjakan guru-guru lulusan universitas lokal, tapi biayanya ternyata lebih mahal.
"Ketika pengelola yayasan Fountain International School di Turki mendengar rencana kami mendirikan sekolah muslim di Manila, mereka menyatakan bersedia membantu memberikan pelatihan bagi tenaga guru secara gratis," ungkap Padilla.
Ditanya soal konflik berkepanjangan di Mindanao antara komunitas Muslim dan pemerintah Filipina, Padilla mengatakan, "Saya melihat solusi jangka pendek untuk menyelesaikan konflik di Mindanao, adalah penarikan pasukan militer Filipina dari wilayah itu. Sepanjang pasukan militer masih ada, tidak akan ada perdamaian di Mindanao," tukasnya. (kw/TT)
Lebih dikenal dengan nama Robin Padilla, masa lalu lelaki yang lahir dari keluarga pemeluk Kristen Protestan ini, memang kelam meski hidupnya sebagai aktor terkenal bergelimang kemewahan. Namun kemewahan dan popularitas itu yang menjerumuskannya ke dalam dunia malam yang penuh maksiat. Ia terperangkap dalam kehidupan para preman jalanan dan obat-obatan terlarang, sehingga membuat popularitasnya sempat menurun.
Aktor yang sempat dijuluki "The Bad Boy of Philippine Action Movies" karena perannya sebagai anggota gangster berdarah dingin dalam sejumlah film itu, harus berurusan dengan kepolisian Filipina karena sepak terjangnya yang sudah dikatagorikan kriminal. Pada tahun 1994, polisi Filipina menangkapnya dan Padilla dinyatakan bersalah atas dakwaan kepemilikan senjata api ilegal. Pengadilan memvonisnya 21 tahun penjara, tapi pada tahun 1998 ia dibebaskan.
Pengalaman selama mendekam di penjara itulah yang mengubah hidup Padilla. Ia berkenalan dengan Gene Gallopin, seorang muslim dan aktivis hak asasi manusia untuk masyarakat minoritas Muslim di Filipina. Robin mulai mengenal Islam dari diskusi-diskusi panjang tentang agama dengan Gallopin yang juga seorang mualaf, hingga Robin memutuskan untuk masuk Islam dan menggunakan nama islami Abdul Aziz.
Keislaman aktor Filipina kelahiran Manila, 23 November 1967 ini tidak banyak diungkap oleh media massa, sehingga banyak para penggemar Padilla yang terkejut begitu tahu aktor pujaan mereka ternyata sudah menjadi seorang muslim.
Tak lama setelah Padilla bersyahadat, istrinya bernama Liezl, juga masuk Islam. Pasangan mualaf yang dikaruniai lima anak itu pun, mulai menjalani kehidupan sebagai keluarga muslim. Padilla masih melanjutkan karirnya sebagai seorang aktor, tapi setelah menjadi seorang muslim, ia juga banyak melakukan kegiatan sosial keagamaan.
Aktivitasnya di bidang keagamaan itu, membuat Padilla berkali-kali diterpa pemberitaan miring. Ia bahkan dituding punya hubungan dengan kelompok Abu Sayyaf, kelompok muslim di Filipina yang diidentikan sebagai kelompok radikal dan teroris. Tapi bagi Padilla, pemberitaan miring itu merupakan tantangan tersendiri baginya dalam menjalani kehidupan sebagai muslim di negara yang mayoritas pendudukanya beragama Katolik.
Padilla juga membentuk sebuah lembaga advokasi untuk membantu masyarakat Muslim Filipina. Ia pernah ditunjuk sebagai duta Gerakan Pemberantasan Malaria oleh Departemen Kesehatan Filipina karena kiprah organisasi Padilla dalam menanggulangi wabah malaria di negeri itu.
Padilla juga berhasil mengumpulkan dana sebesar satu juta peso Fililpina dalam kegiataan penggalangan dana untuk membangun pemakaman Muslim di kota Norzagaray, provinsi Bulacan.
Mendirikan Madrasah
Di bidang pendidikan, Padilla mewakafkan lahan miliknya di Fairview Park, Quezon City untuk membangun lembaga pendidikan berupa madrasah bagi anak-anak muslim usia prasekolah.
“Para murid akan mendapatkan pelajaran membaca Al-Quran dari guru-guru yang terpilih. Mereka akan tinggal di asrama di lokasi yang sama, dibebaskan dari uang sekolah, buku-buku diberikan gratis, termasuk biaya asrama,” kata Padilla.
Idenya mendirikan madrasah muncul setelah ia mengunjungi kepulauan Basilan dan Jolo di selatan Filipina, yang merupakan bagian dari wilayah Mindanao, wilayah di Filipina yang mayoritas penduduknya Muslim.
"Dari kunjungan saya ke Mindanao, saya menemukan akar dari persoalan yang paling mendesak di sana. Minimnya pendidikan membuat anak-anak Muslim di sana terbelakang," ujar Padilla.
Di awal pendiriannya, cuma ada lima orang guru di sekolah itu, yang sudah menjalani pelatihan di sekolah Islam internasional di Turki. Padilla mengatakan, ia sebenarnya ingin mempekerjakan guru-guru lulusan universitas lokal, tapi biayanya ternyata lebih mahal.
"Ketika pengelola yayasan Fountain International School di Turki mendengar rencana kami mendirikan sekolah muslim di Manila, mereka menyatakan bersedia membantu memberikan pelatihan bagi tenaga guru secara gratis," ungkap Padilla.
Ditanya soal konflik berkepanjangan di Mindanao antara komunitas Muslim dan pemerintah Filipina, Padilla mengatakan, "Saya melihat solusi jangka pendek untuk menyelesaikan konflik di Mindanao, adalah penarikan pasukan militer Filipina dari wilayah itu. Sepanjang pasukan militer masih ada, tidak akan ada perdamaian di Mindanao," tukasnya. (kw/TT)
Komentar
Posting Komentar