Di suatu pagi sebelum matahari menampakkan cahayanya yang keperakan,
Amanda Gormley berdiri di ruang tamu rumahnya. Pagi itu, untuk pertama
kalinya, ia melaksanakan salat seperti yang dilakukan kaum Muslimin.
"Saya mengucapkan dua kalimah syahadat, setelah melalu perjalanan spiritual yang panjang. Jalan yang saya lalui membawa saya pada Islam. Saya menerima agama ini, dan menghormati ajarannya," ungkap Gormley.
Ia mengungkapkan, pertama kali mencoba salat sendiri, sejujurnya, ia merasa canggung dan tidak tahu pasti bagaimana melaksankana salat yang benar. Ia hanya mengandalkan bantuan kartu berisi petunjuk tahapan salat dan bacaannya.
"Saya berdiri ke arah yang saya pikir adalah arah ke kota Makkah. Saya meletakkan tangan kanan saya di dada. Sedangkan tangan kiri memegang kartu berisi petunjuk salat dan terjemahan surat Al-Fatihah," ujar Gormley menceritakan pengalaman pertamanya salat.
Ia melanjutkan, "Suku-suku kata yang terasa aneh menyekat tenggorokan saya, seperti tangisan yang tertahan, saya berjuang untuk mengucapkan bunyi dari suku-suku kata yang asing. Tapi, begitu saya selesai mengucapkan kata-kata itu, saya merasa roh saya memasuki sebuah dunia yang ada di luar indera saya, menembus dimensi ruang dan waktu, dimana tubuh membebaskan jiwa. Saya merasakan kedalaman, sebuah pengampuan dan kasih sayang yang tiada akhir melingkupi diri saya."
"Bersamaan dengan cahaya pagi pertama yang lembut yang saya rasakan, saya berlutut, lalu bersujud di lantai sambil menangis dan mengucap 'Subhana rabbial 'ala'. Saya merasakan benda sampai sekecil atom pun ikut memuji Allah. Kursi, karpet tempat saya salat, dan bayangan pun seperti mengatatakan, 'segala puji bagi Allah!'. Matahari dan cahayanya ikut berdoa bersama saya ..." ungkap Gormley.
Moment itu membuatnya merasa sebagai orang yang sangat tak sempurna dan punya banyak kelemahan. Namun pada saat yang sama, Gormley merasa diterima, diampuni, dicintai dan dikasihi. Perasaan yang membuatnya percaya bahwa Sang Maha Pencipta tahu apa yang ada dalam dirinya dan melindunginya.
"Pada saat itulah saya berkomitmen bahwa hidup saya untuk 'Dia' Sang Pencipta," tukas Gormley.
Salat menjadi permulaan perubahan besar dalam diri perempuan yang tinggal di dekat kota Syarcuse, New York. Setelah mencoba salat, Gormley mencoba berpuasa di bulan Ramadan dan membaca satu atau dua halaman kitab suci Al-Quran setiap ada waktu. Seketika, ia merasakan ada perubahan dari caranya memandang kehidupan dunia.
"Kicauan burung membuat saya bersyukur akan karunia pendengaran. Melihat kuda yang memain-mainkan kepalanya, akan membuat hati saya bersenandung memuji 'Dia' yang telah menciptakan mahkluk yang indah. Melihat pancaran rasa ingin tahu di mata anak-anak saat menemukan sesuatu yang baru, mengingatkan saya akan karunia ilmu pengetahuan, dan membuat saya sangat ingin memahami kedalaman ajaran Islam," tutur Gormley.
Hari demi hari, hati Gormley makin tertaut pada Islam, komitmennya untuk memeluk Islam makin dalam. Ia salat lima waktu setiap hari, menghapal surat-surat Al-Quran dan sering berkunjung ke masjid lokal. Meski demikian, Gormley sempat dilanda kegelisahan. Ia bingung untuk mendefinisikan muslim seperti apakah dirinya, konservatif, sufi, atau muslim modern abad ini? Kegelisahan itu membuat Gormley berhati-hati untuk berjalan diantara sikap skeptis dan spiritualnya.
"Saya berusaha untuk berpikir secara obyektif terhadap apapun yang saya pelajari. Saya berusaha menghindari perilaku yang hanya didorong oleh keinginan untuk merasa cocok saja, tapi berusaha untuk mengikuti jalan yang memang benar buat saya," ujar Gormley.
Suatu hari, setelah pulang kerja, ia menuju sebuah masjid untuk merasakan kedamaian. Sesampainya di masjid, hanya dengan celana jeans, kemeja lengan panjang, tanpa penutup kepala, Gormley berniat untuk melaksanakan salat. Tiba-tiba ada seorang lelaki yang tampaknya tidak senang, dan menegurnya, "Apa yang akan kau lalukan?"
"Saya di sini untuk salat," jawab Gormley
Laki-laki itu berkata lagi, "Bagaimana Anda salat seperti ini? Mana jilbabmu?"
Pertanyaan itu membuat Gormley terkesima. "Haruskah saya melayani orang ini. Tidak bisakan ia menyemangati saya," pikirnya. Gormley lalu beranjak ke tempat salat perempuan, mengambil sebuah mukena, lalu salat. Ia berdoa pada Allah agar menolongnya, agar ia diberi kesabaran dan petunjuk. Ia berdoa ditunjukkan cara agar bisa mengangkat kepalannya jika bertemu lelaki itu lagi.
Gormley memutuskan untuk lebih sering melibatkan dirinya dengan komunitas Muslim. Ia ingin orang melihat siapa dirinya, berharap akan bertemu beberapa orang yang akan menerimanya sebagai orang yang merdeka, menerimanya sebagai seorang perempuan Barat sekaligus seorang muslimah.
"Saya ingin menunjukkan pada semua orang bahwa saya tidak butuh laki-laki yang menyuruh saya mengenakan jilbab hanya karena itu yang biasa dilakukan dalam budayanya," tukas Gormley.
Pekan itu juga, ia menghubungi pihak masjid dan menyatakan ingin menjadi sukarelawan. Gormley secara rutin datang dalam salat Jumat dan mulai mengenalkan dirinya pada setiap orang. Tak diduga, ia bertemu dengan banyak muslimah yang juga seperti dirinya; mandiri, penuh semangat dan humoris. Diantara mereka ada cendikiawan, pemuka masyarakat, dan aktivis. Mereka semua mengenakan jilbab.
Akhirnya, Gormley menyadari bahwa jilbab bukan sebuah tradisi atau budaya, tapi ekspresi ketakwaan seorang muslimah.
"Saya jadi paham bahwa jilbab adalah tuntutan dalam Islam. Saya memutuskan untuk mengenakannya sebagai identitas diri saya. Saya ingin ada yang menjadi pengingat tentang siapa saya," ungkap Gormley. (kw/azz)
"Saya mengucapkan dua kalimah syahadat, setelah melalu perjalanan spiritual yang panjang. Jalan yang saya lalui membawa saya pada Islam. Saya menerima agama ini, dan menghormati ajarannya," ungkap Gormley.
Ia mengungkapkan, pertama kali mencoba salat sendiri, sejujurnya, ia merasa canggung dan tidak tahu pasti bagaimana melaksankana salat yang benar. Ia hanya mengandalkan bantuan kartu berisi petunjuk tahapan salat dan bacaannya.
"Saya berdiri ke arah yang saya pikir adalah arah ke kota Makkah. Saya meletakkan tangan kanan saya di dada. Sedangkan tangan kiri memegang kartu berisi petunjuk salat dan terjemahan surat Al-Fatihah," ujar Gormley menceritakan pengalaman pertamanya salat.
Ia melanjutkan, "Suku-suku kata yang terasa aneh menyekat tenggorokan saya, seperti tangisan yang tertahan, saya berjuang untuk mengucapkan bunyi dari suku-suku kata yang asing. Tapi, begitu saya selesai mengucapkan kata-kata itu, saya merasa roh saya memasuki sebuah dunia yang ada di luar indera saya, menembus dimensi ruang dan waktu, dimana tubuh membebaskan jiwa. Saya merasakan kedalaman, sebuah pengampuan dan kasih sayang yang tiada akhir melingkupi diri saya."
"Bersamaan dengan cahaya pagi pertama yang lembut yang saya rasakan, saya berlutut, lalu bersujud di lantai sambil menangis dan mengucap 'Subhana rabbial 'ala'. Saya merasakan benda sampai sekecil atom pun ikut memuji Allah. Kursi, karpet tempat saya salat, dan bayangan pun seperti mengatatakan, 'segala puji bagi Allah!'. Matahari dan cahayanya ikut berdoa bersama saya ..." ungkap Gormley.
Moment itu membuatnya merasa sebagai orang yang sangat tak sempurna dan punya banyak kelemahan. Namun pada saat yang sama, Gormley merasa diterima, diampuni, dicintai dan dikasihi. Perasaan yang membuatnya percaya bahwa Sang Maha Pencipta tahu apa yang ada dalam dirinya dan melindunginya.
"Pada saat itulah saya berkomitmen bahwa hidup saya untuk 'Dia' Sang Pencipta," tukas Gormley.
Salat menjadi permulaan perubahan besar dalam diri perempuan yang tinggal di dekat kota Syarcuse, New York. Setelah mencoba salat, Gormley mencoba berpuasa di bulan Ramadan dan membaca satu atau dua halaman kitab suci Al-Quran setiap ada waktu. Seketika, ia merasakan ada perubahan dari caranya memandang kehidupan dunia.
"Kicauan burung membuat saya bersyukur akan karunia pendengaran. Melihat kuda yang memain-mainkan kepalanya, akan membuat hati saya bersenandung memuji 'Dia' yang telah menciptakan mahkluk yang indah. Melihat pancaran rasa ingin tahu di mata anak-anak saat menemukan sesuatu yang baru, mengingatkan saya akan karunia ilmu pengetahuan, dan membuat saya sangat ingin memahami kedalaman ajaran Islam," tutur Gormley.
Hari demi hari, hati Gormley makin tertaut pada Islam, komitmennya untuk memeluk Islam makin dalam. Ia salat lima waktu setiap hari, menghapal surat-surat Al-Quran dan sering berkunjung ke masjid lokal. Meski demikian, Gormley sempat dilanda kegelisahan. Ia bingung untuk mendefinisikan muslim seperti apakah dirinya, konservatif, sufi, atau muslim modern abad ini? Kegelisahan itu membuat Gormley berhati-hati untuk berjalan diantara sikap skeptis dan spiritualnya.
"Saya berusaha untuk berpikir secara obyektif terhadap apapun yang saya pelajari. Saya berusaha menghindari perilaku yang hanya didorong oleh keinginan untuk merasa cocok saja, tapi berusaha untuk mengikuti jalan yang memang benar buat saya," ujar Gormley.
Suatu hari, setelah pulang kerja, ia menuju sebuah masjid untuk merasakan kedamaian. Sesampainya di masjid, hanya dengan celana jeans, kemeja lengan panjang, tanpa penutup kepala, Gormley berniat untuk melaksanakan salat. Tiba-tiba ada seorang lelaki yang tampaknya tidak senang, dan menegurnya, "Apa yang akan kau lalukan?"
"Saya di sini untuk salat," jawab Gormley
Laki-laki itu berkata lagi, "Bagaimana Anda salat seperti ini? Mana jilbabmu?"
Pertanyaan itu membuat Gormley terkesima. "Haruskah saya melayani orang ini. Tidak bisakan ia menyemangati saya," pikirnya. Gormley lalu beranjak ke tempat salat perempuan, mengambil sebuah mukena, lalu salat. Ia berdoa pada Allah agar menolongnya, agar ia diberi kesabaran dan petunjuk. Ia berdoa ditunjukkan cara agar bisa mengangkat kepalannya jika bertemu lelaki itu lagi.
Gormley memutuskan untuk lebih sering melibatkan dirinya dengan komunitas Muslim. Ia ingin orang melihat siapa dirinya, berharap akan bertemu beberapa orang yang akan menerimanya sebagai orang yang merdeka, menerimanya sebagai seorang perempuan Barat sekaligus seorang muslimah.
"Saya ingin menunjukkan pada semua orang bahwa saya tidak butuh laki-laki yang menyuruh saya mengenakan jilbab hanya karena itu yang biasa dilakukan dalam budayanya," tukas Gormley.
Pekan itu juga, ia menghubungi pihak masjid dan menyatakan ingin menjadi sukarelawan. Gormley secara rutin datang dalam salat Jumat dan mulai mengenalkan dirinya pada setiap orang. Tak diduga, ia bertemu dengan banyak muslimah yang juga seperti dirinya; mandiri, penuh semangat dan humoris. Diantara mereka ada cendikiawan, pemuka masyarakat, dan aktivis. Mereka semua mengenakan jilbab.
Akhirnya, Gormley menyadari bahwa jilbab bukan sebuah tradisi atau budaya, tapi ekspresi ketakwaan seorang muslimah.
"Saya jadi paham bahwa jilbab adalah tuntutan dalam Islam. Saya memutuskan untuk mengenakannya sebagai identitas diri saya. Saya ingin ada yang menjadi pengingat tentang siapa saya," ungkap Gormley. (kw/azz)
Komentar
Posting Komentar