Malam mulai turun di sebuah kamar kost
di bilangan Depok, Jawa Barat, tahun 1993. Seorang perempuan cantik,
hatinya bergejolak. Malam itu, seorang mahasiswi Sastra Belanda
Universitas Indonesia (UI), baru saja berdiskusi antarteman,
masing-masing mempertahankan pendapatnya. Sharing pendapat ini bukan hal
baru dilakukan, tetapi sudah sering berlangsung.
Hingga akhirnya, perdebatan itu
menyisakan kepenasaran dan melahirkan sebuah pemikiran logis. Di suatu
malam itulah, wanita bersuara merdu itu harus mengambil sebuah keputusan
penting dalam hidupnya. Perempuan yang dimaksud adalah artis penyanyi
terkenal, Iga Mawarni, putri kelahiran Bogor, tetapi berdarah Solo.
Lagu Kasmaran’ sempat melambungkan nama Iga Mawarni di tahun 1991. Tanpa
dipengaruhi orang ketiga, penyanyi bersuara jezzi ini, akhirnya
memutuskan meninggalkan kepercayaan lamanya dan memeluk Islam dengan
pendekatan rasional. Ia melakukannnya dengan sepenuh hati, tanpa emosi
sedikit pun.
idak ada pengalaman khusus yang saya
temui untuk pindah keyakinan ini, misalnya mendengarkan azan sayup-sayup
lalu hati saya bergetar. Bukan peristiwa itu. Keyakinan mengkristal
justru berangkat dari lingkungan di mana saya tinggal. Sebagai anak kost
kami sering berdebat, ketika kami masih kuliah di UI, cerita Iga
Mawarni mengenang masa lalunya, ketika dihubungi , Rabu (13/10), ia
tengah berlibur di Yogyakarta bersama anaknya Rajasa (3.5).
Setelah berikrar memeluk Islam,
persoalan pun muncul, terutama dari keluarganya. Tadinya saya tidak
ingin mengatakannya terus terang, tetapi semakin saya tutupi, justru
perasaan bersalah saya muncul, desahnya.
Keputusan untuk berterus terang kepada
kedua orang tuanya itu, bukan tanpa risiko. Semua orang tua pasti tidak
rela anaknya berkhianat terhadap agamanya. Saya memakluminya ketika
ayah dan ibu saya menjauhi saya. Saya harus kuat, Allah sedang menguji
kekuatan saya saat itu. Dan saya berhasil menerima ujian itu,kata Iga
sedikit tersendat.
Yang membuat saya terharu, ketika
pikiran saya mengingat mereka sebagai orang tua yang telah melahirkan
saya. Begitu kuat rasa hormat itu muncul, tetapi di sisi lain saya
seperti memperoleh kekuatan yang maha dahsyat untuk tetap bersikukuh,
berdiri berseberangan dalam menegakkan keyakinan. Tadinya ada keinginan,
semoga apa yang telah saya lakukan ini ditiru lingkungan keluarga
besarku di Solo, tetapi tentu itu tidak mudah, tetapi Alhamdulillah adik
kandung saya, sejak dua tahun silam telah mengikuti jejak saya menjadi
pengikut Muhammad saw., kisah pengagum tokoh B.J. Habibie ini bahagia.
Konsekuensi memeluk Islam secara
sadar, adalah perlakuan dari keluarga di Solo yang tidak lagi ramah.
Hubungan komunikasi pun nyaris putus, bahkan suplai dana untuk biaya
hidup di Jakarta dihentikan. Padahal saya butuh biaya untuk kuliah,
skripsi, biaya hidup. Tetapi Tuhan selalu memberi jalan pada umatnya.
Saat itu saya terus berdoa, semoga diberi kekuatan. Maka timbul ide
untuk bekerja secara part time di Jakarta. Tawaran nyanyi juga mengalir
meski tidak gencar. Dari sana saya semakin meyakini kebenaran itu selalu
ada,tegas Iga.
Tujuh tahun, ia harus saling menjaga
jarak dengan keluarga. Jika tidak dihadapi dengan kepala dingin, mungkin
segalanya bisa porak poranda. Iga berhasil meredam semuanya dengan
tanpa gembar-gembor. Tujuh tahun saya lewati hari-hari saling menjaga
perasaan, tidak pernah ada rasa gentar, atau takut. Saya pernah dianggap
sebagai anak tersesat oleh keluargaku di Solo. Saya tetap menikmatinya
sambil terus mempelajari kedalaman keyakinan saya lewat Alquran,
buku-buku penunjang lainnya, sehingga saya mengetahui mana yang menjadi
larangan dan mana yang dibolehkan, terang Iga.
Dalam pencarian memahami Islam itulah
pada akhirnya ia dipertemukan dengan seorang laki-laki yang kemudian
menjadi suaminya sekarang, Charlie R. Arifin (pengusaha)
yang satu ihwan. Saya bersyukur Tuhan mengutus laki-laki pendamping
yang setia, saleh dan punya masa depan. Saat itu semakin teguh keyakinan
saya memeluk Islam secara tulus ihlas.
Iga tak lagi sendiri mendirikan salat,
atau berpuasa. Ia sudah menemukan imam dalam rumah tangganya. Bersama
Charlie dan Rajasa, buah kasih mereka, terkadang melakukan salat
berjamaah di rumah. Bila bulan Ramadan tiba, mereka melaksanakan salat
tarawih di masjid raya. Dipilihnya Masjid At-Tien TMII Jakarta Timur,
sebagai tempat salat terdekat dari rumah tinggalnya, di kawasan Jakarta
Timur.
Saat puasa tiba, sebenarnya bukan hal
asing bagi saya. Karena ketika masih menganut Nasrani, ada juga
instruksi mendirikan puasa. Saya juga suka melakukan puasa, hanya
caranya yang berbeda, papar Iga yang mengaku semoga tahun ini ia bisa
melaksanakan puasa dengan tanpa kekalahan yang berarti dan mendapat
ampunan dosa-dosa dari Allah SWT.
Komentar
Posting Komentar