Di Masjid pun, Peran Keayahan Mulai Hilang





Praktisi parenting dan spesialis kepengasuhan anak Irwan Rinaldi mengatakan peran masjid sebagai pilar dasar pendidikan dan pembangunan karakter anak anak Muslim mulai hilang. Saat hari Jum'at misalnya, yang mayoritas jama'ahnya, hingga 90 persen, adalah usia anak anak dan remaja, khotib Jum’at nyaris tidak pernah menyapa mereka dengan pesan pesan motivasi dan sapaan yang menyentuh.
Hal itu diungkapkan Irwan sebagaimana pengalaman dia setelah berkeliling melakukan sholat Jum'at di di sejumlah masjid di Jabodatabek. Padahal waktu Jum'at adalah waktu di mana jamaah dengan usia anak dan remaja sedang berkumpul seringkali lebih banyak ketimbang jamaah dewasa.
Hari ini, sarana pendidikan yang paling efektif adalah masjid. Tapi, kata Rinaldi, ternyata banyak juga pengurus masjid yang tidak atau belum mengerti kepengasuhan anak, sehingga akhirnya anak anak pun lebih suka nongkrong di warnet ketimbang di masjid.


"Yang jadi persoalan, kita sebagai orangtua tidak tidak peduli dengan masalah ini. Orangtua hanya mulai konsentrasi memperhatikan anak ketika sudah berusia 15 tahun ke atas. Padahal idealnya usia 0 sampai 15 tahun adalah usia penanaman karakter oleh orangtua," jelasnya yang ditemui Hidayatullah.com di Jatipadang, Pasar Minggu, Jakarta Timur, baru baru ini.

Menurutnya, sudah saatnya para ustadz turun tangan dan menguasai masalah kepengasuhan anak. Sebab kalau hanya sibuk memvonis perilaku anak di atas mimbar tidak akan ada efeknya.
"Istilahnya, jangan sampai anak anak menari tapi yang memukul gendang adalah orang lain,” kata Irwan yang berpengalaman menjadi tim recovery anak korban perang dan bencana alam di kawasan Eropa Timur, Asia dan Indonesia ini.

Terlebih lagi, Irwan menilai, pola pendidikan kita di Indonesia saat ini menyedihkan. Menurutnya, masa sekolah hanya menghabiskan masa produktif anak yang seharusnya ditempa untuk dibenamkan dalam pendidikan karakter oleh orangtuanya, bukan malah menyerahkan masa-masa emas itu untuk diisi orang lain.

“Di TK 3 tahun, SD 6 tahun, di SMP 3 tahun, di SMA 3 tahun, di bangku kuliah 5 tahun, total 20 tahun kita membuang masa masa produktif. Apakah pola pendidikan seperti ini ada dalam Al-Qur'an. Penyelenggaran pendidikan di negeri anak seperti masuk penjara,” tukas konselor di Yayasan Kita dan Buah Hati ini.


Hal ini dinilai Irwan sebagai bentuk dahsyatnya pengaruh dan hantaman ghazwul fikr yang merupakan turunan kapitalisme. Sehingga ada anak anak berayah ada tapi berayah tiada. Terutama ini menimpa kaum Muslimin.
“Jadi bossnya keluarga dulu yang dihancurkan,” ungkap pria yang telah puluhan tahun mengasuh puluhan anak anak dan komunitas gelandangan ini.

Karena keprihatinannya itu, ini menulis sebuah buku berjudul “Aku Mau Ayah” yang merupakan kisah nyata dari serangkaian percakapan dan pertemuan dia dengan anak anak yang telah “kehilangan” ayah. Irwan menuliskan sekelumit hasil perkelanaannya menemukan ungkapan hati anak anak di penjuru negeri di kota dan pedesaan, Eropa, dan negara lainnya.

Di buku yang berisi 45 kisah nyata ini terekam tentang keinginan, suara hati, jeritan, kemarahan, dan kemurkaan anak anak terhadap orang dewasa di sekelilingnya, terutama kepada sang ayah.
Pentingnya Peran Keayahan

Irwan menceritakan, dalam sebuah penelitian yang dilakukan lembaga swadayanya di wilayah Jabodetabek, ditemukan 85 persen sekolah TK dan SD di wilayah ini gurunya adalah perempuan. Sementara di sisi lain, anak seusia TK dan SD sebenarnya adalah fase anak untuk melakukan copy paste, selalu meniru.
Sehingga ada true story di sebuah sekolah Islam, seorang siswa TK B bertanya pada gurunya tentang sosok Sayyidina Umar bin Khattab. Dijelaskanlah bahwa Umar adalah seorang yang kuat dan perkasa. Si anak penasaran dan bertanya lagi, perkasa itu seperti apa dan bagaimana. Anak TK ini minta dicontohkan. Si guru wanita itu pun bingung bagaimana mencontohkannya.

“Bagaimana anak anak bisa memahami karakter laki-laki dalam sebuah cerita kalau begini. Disinilah pentingnya peran keayahan. Dalam Al-Qur'an pun sangat banyak yang membahas tentang peran keayahan dalam mendidik anak,” ujar tim kreatif dan konseptor program anak-keluarga off/on air di sejumlah stasiun televisi swasta ini.
Ada lagi, cerita Irwan, seorang anak TK sangat penasaran tentang sosok Ali bin Abi Thalib sebagai laki laki yang jago menunggangi kuda yang diceritakan oleh gurunya. Dia bertanya sama gurunya, bagaimana contohnya naik kuda. Si guru pun bingung karena tidak bisa mencontohkan.

Ketika pulang ke rumah, anak ini melihat di televisi ada orang berambut panjang naik kuda dengan kencang. Dia pun berguman, "Oo.. Ali itu rambutnya panjang, ya". Adegan di TV selanjutnya tampak lelaki gondrong itu memeluk wanita saat turun dari kudanya. Si anak pun berkesimpulan, "Oo..Ali itu suka berpelukan dengan perempuan".
"Padahal si anak ini sebenarnya sedang menonton film Zorro yang dibintangi Antonio Banderas," ujar irwan.
Program Yayasan Langkah Kita (Lakit) Sahabat Ayah yang didirikan Irwan saat ini sedang menerbitkan buku kedua berjudul Ayah Ada Ayah Tiada sebanyak 10.000 eksemplar untuk dibagi-bagikan kepada masyarakat. Selain itu mereka rutin mengunjungi komunitas komunitas anak di dalam dan luar negeri.

Rep: Ainuddin Chalik
Red: Syaiful Irwan

Komentar