Sudah sekitar tiga tahun terakhir, Stefanus R
Sumangkir, bergerak membangun kelompok yang menjadi ajang berkumpulnya
para mualaf (orang yang baru masuk Islam), di Tegal, Jawa Tengah.
Kelompok ini disebut sebagai Paguyuban Mualaf Kallama. Kini anggotanya
sudah mencapai 19 orang. Kelompok itu berusaha untuk mandiri dengan
berupaya semampunya. Dana untuk organisasi didapat dari iuran anggota
dan sumbangan dermawan. ''Paguyuban ini untuk ajang komunikasi dan juga
wahana mendalami Islam,'' ujar Sumangkir.
Jalan yang ditempuh Sumangkir untuk bisa membangun
komunitas mualaf ini cukup berliku. Mulanya, Sumangkir yang kini
berusia 56 tahun itu adalah seorang penginjil. Ajaran Kristen memang
telah melekat pada keluarga Sumangkir sejak dia masih kecil. Pada
1986-1987, Sumangkir dikirim untuk menuntut ilmu di sekolah teologi di
Malang, Jawa Timur. Ilmu-ilmu yang diperlukan untuk jadi penginjil pun
diserapnya. Hingga 1988, Sumangkir dipercaya Gereja Maranatha Slawi
untuk membimbing jemaat.
Dia
sempat dikirim ke Desa Karanggedang, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah,
untuk misi pengkristenan. Di desa yang mayoritas penduduknya eks-tapol
Pulau Buru itu, Sumangkir rajin mendekati warga agar masuk Kristen.
Dengan semangat tinggi, Sumangkir bisa meluluhkan sebagian hati warga
sehingga ada yang memeluk Kristen. Di Karanggedang ini, Sumangkir
mengaku pertama kali mendapat hidayah dari Tuhan. ''Saat saya menemui
seorang yang akan kami Kristenkan, orang itu bertanya kepada saya
tentang Tuhan yang katanya satu tetapi mencipta dua hukum. Contohnya
tentang babi, di mana Kristen menghalalkan dan Islam mengharamkan. Atas
pertanyaan itu saya kebingungan,'' ujarnya mengenang.
Sejak
itu dia mencoba membuka-buka Injil yang menjadi pedoman bagi agama
Kristen. Ternyata Surat Imamat 11 ayat 7 menyebutkan babi haram karena
memiliki dua kuku yang terbelah. Namun para pendeta Kristen, saat
mengajar di gereja-gereja tak menyatakan babi haram bagi umat Kristen.
Beberapa tahun berlalu. Sumangkir mendapat tugas mengajar di Gereja
Maranata dan GPPS Budimulya di Slawi,
Kabupaten Tegal. Di situ
Sumangkir berceramah di hadapan jemaat tentang babi yang diharamkan.
Ternyata ceramah itu menjadi tidak berkenan bagi majelis gereja yang
langsung menskorsnya. Nama Stepanus Sumangkir dihapus dari daftar
penceramah tanpa alasan.
Saat
itu Sumangkir tidak langsung berganti agama, namun tetap saja pada
pendirian sebagai penginjil. Secara mandiri dia aktif mencari sasaran
di tengah masyarakat yang miskin. Kehidupan sebagai penginjil cukup
menopang ekonominya pada waktu itu. Dua anaknya, Euneke Alfa Lidia (16
tahun) dan Critoper Pitagoras (13 tahun) bisa sekolah dan hidup layak.
Di tengah kegalauan jiwanya tentang keyakinan dalam beragama, Sumangkir
mendapat hidayah yang kedua. Kali ini lewat tayangan televisi Indosiar yang memutar film Ramadhan berjudul Jamaludin Al Afghani. Film tentang tokoh Islam itu mengetuk hati keluarga Sumangkir untuk memeluk Islam. Dari sinilah ghirah Islamnya terus tumbuh, sampai akhirnya dia membangun Paguyuban Mualaf Kallama.
Mulanya, kelompok ini menggelar pengajian rutin setiap malam Senin, bertempat di rumah Sumangkir di Jalan Murbei No 16, Kelurahan Kraton, Kecamatan Tegal Barat, Kota Tegal.
Mereka biasanya memanggil ustadz untuk menambah ilmunya. Anggota
paguyuban mualaf yang dipimpin Sumangkir terkadang harus lapang dada
diperlakukan tidak adil. Perlakuan seperti ini, misalnya, pernah
dialami Gunawan yang bekerja di sebuah toko emas di Kota Tegal. Sejak
lama Gunawan menjadi penganut Katolik yang taat, namun akhirnya dia
memilih masuk Islam. Saat masih memeluk Katolik, lingkungan tempatnya
bekerja terbilang kondusif. Namun, begitu Gunawan ketahuan setiap Jumat
pamit ke masjid untuk shalat Jumat, pemilik toko menjadi kurang
berkenan. Akhirnya Gunawan dipecat.
Karena
kebutuhan ekonomi, akhirnya para mualaf yang semula aktif mengikuti
kegiatan pengajian menjadi berkurang. ''Ya saya maklum, mereka harus
bisa menghidupi keluarga. Sehingga, mereka memilih keluar kota mencari
pekerjaan,'' tutur Sumangkir. Sumangkir sendiri menggantungkan hidupnya
sebagai penceramah dibantu istrinya, Siti Fatimah, juga mualaf, yang
tiap hari berjualan nasi gudeg. Karena faktor kesibukan itu, aktivitas
Paguyuban Mualaf Kallama tak lagi rutin. Namun, Sumangkir tetap ingin
menjalankannya. Kini sedang dirintis agar paguyuban itu bisa menjadi
ajang usaha bersama.
Komentar
Posting Komentar