Seekor induk ayam tampak sibuk dengan kelahiran tiga ekor anaknya
yang baru saja menetas. Seperti komandan barisan, ia memimpin ketiga
anaknya mencari makan di sekitar kandang. Kemana ia pergi dan
bertingkah, seperti itu pula anak-anaknya mengikuti.
Suatu kali, induk ayam ini menginginkan hal lain bagi anak-anaknya. Ia ingin ketiga anaknya kelak menjadi ayam istimewa, bukan ayam kebanyakan. Ia ingin anaknya bisa belajar terbang seperti burung, berlari kencang seperti kuda, dan mahir berenang seperti ikan.
Sang induk ayam pun mengajak anak-anaknya mengunjungi burung bangau. “Hei bangau sahabatku! Bisakah kau ajari salah satu anakku bagaimana terbang?”
Walau agak keheranan, sang bangau menuruti permintaan induk ayam untuk mengajari seekor anak ayam terbang. Sang bangau mengajak anak ayam itu menaiki sebuah bukit. Dan setelah mengajari bagaimana mengepakkan sayap, sang bangau ‘mendorong’ sang anak ayam untuk lompat dari atas bukit. Ia berharap, sang anak ayam bisa terbang, sebagaimana ia diajari induknya ketika masih kecil.
Ternyata, bukan terbang yang bisa dilakukan sang anak ayam. Ia terjatuh dari atas bukit dan membentur sebuah batu cadas di dasarnya. Anak ayam itu pun mati.
Tanpa peduli dengan kematian itu, kini sang induk ayam mengajak dua anaknya mengunjungi kuda. “Hei kuda sahabatku, maukah kau mengajari salah satu anakku bagaimana berlari kencang?” ucap sang induk ayam sedikit agak memaksa.
Walau agak keheranan, sang kuda pun mengajak salah satu anak ayam ke tanah lapang. Setelah mengajari bagaimana menggerakkan kaki agar lebih cepat berlari, sang kuda mengikatkan sebuah tali yang menghubungkan antara ia dengan tubuh anak ayam. Dan, ia pun ‘memaksa’ anak ayam itu berlari kencang. Cara itulah yang ia dapatkan ketika ia diajari induknya ketika masih kecil.
Ternyata, bukan kecepatan berlari yang didapat si anak ayam malang itu. Justru, ia terseret dan tubuhnya tergesek bebatuan di sekitar tanah yang dilalui kuda. Sang anak ayam itu pun mati.
Kini, tinggal satu peluang yang dimiliki induk ayam. Ia dan anaknya yang tinggal satu pun pergi meninggalkan kuda untuk mengunjungi ikan. Sang induk ayam berharap, anaknya yang satu ini bisa belajar berenang seperti ikan.
“Hei ikan sahabatku, maukah kau mengajari anakku berenang?” teriak sang induk ayam ke ikan sahabatnya di tepian sebuah sungai.
Walau agak keheranan, sang ikan pun terpaksa mengajak anak ayam itu belajar berenang. Setelah mengajari bagaimana menggerakkan tubuh ketika dalam air, sang ikan ‘memaksa’ anak ayam menceburkan diri ke air sungai. Cara itulah yang pernah diajarkan kepada sang ikan ketika ia masih kecil.
Ternyata, bukan kemahiran berenang yang didapatkan anak ayam, justru, ia tak bisa nafas karena tersedak air yang terus masuk ke saluran nafas kecilnya. Anak ayam itu pun mati.
Kini, tinggal si induk ayam melamun dalam kesendirian. Ia masih terpaku dalam kebimbangan: anak-anaknya yang tidak bermutu, atau ia yang salah memperlakukan anak-anaknya.
**
Tidak banyak pemimpin yang mampu menimbang dengan adil antara keinginan dan obsesinya yang begitu tinggi dengan kemampuan yang dimiliki orang-orang yang dipimpinnya.
Alih-alih ingin meraih hal yang istimewa dari yang ia pimpin, justru orang-orang yang mengikutinya ‘berguguran’ tergilas obsesi para pemimpinnya. (muhammadnuh@eramuslim.com)
Suatu kali, induk ayam ini menginginkan hal lain bagi anak-anaknya. Ia ingin ketiga anaknya kelak menjadi ayam istimewa, bukan ayam kebanyakan. Ia ingin anaknya bisa belajar terbang seperti burung, berlari kencang seperti kuda, dan mahir berenang seperti ikan.
Sang induk ayam pun mengajak anak-anaknya mengunjungi burung bangau. “Hei bangau sahabatku! Bisakah kau ajari salah satu anakku bagaimana terbang?”
Walau agak keheranan, sang bangau menuruti permintaan induk ayam untuk mengajari seekor anak ayam terbang. Sang bangau mengajak anak ayam itu menaiki sebuah bukit. Dan setelah mengajari bagaimana mengepakkan sayap, sang bangau ‘mendorong’ sang anak ayam untuk lompat dari atas bukit. Ia berharap, sang anak ayam bisa terbang, sebagaimana ia diajari induknya ketika masih kecil.
Ternyata, bukan terbang yang bisa dilakukan sang anak ayam. Ia terjatuh dari atas bukit dan membentur sebuah batu cadas di dasarnya. Anak ayam itu pun mati.
Tanpa peduli dengan kematian itu, kini sang induk ayam mengajak dua anaknya mengunjungi kuda. “Hei kuda sahabatku, maukah kau mengajari salah satu anakku bagaimana berlari kencang?” ucap sang induk ayam sedikit agak memaksa.
Walau agak keheranan, sang kuda pun mengajak salah satu anak ayam ke tanah lapang. Setelah mengajari bagaimana menggerakkan kaki agar lebih cepat berlari, sang kuda mengikatkan sebuah tali yang menghubungkan antara ia dengan tubuh anak ayam. Dan, ia pun ‘memaksa’ anak ayam itu berlari kencang. Cara itulah yang ia dapatkan ketika ia diajari induknya ketika masih kecil.
Ternyata, bukan kecepatan berlari yang didapat si anak ayam malang itu. Justru, ia terseret dan tubuhnya tergesek bebatuan di sekitar tanah yang dilalui kuda. Sang anak ayam itu pun mati.
Kini, tinggal satu peluang yang dimiliki induk ayam. Ia dan anaknya yang tinggal satu pun pergi meninggalkan kuda untuk mengunjungi ikan. Sang induk ayam berharap, anaknya yang satu ini bisa belajar berenang seperti ikan.
“Hei ikan sahabatku, maukah kau mengajari anakku berenang?” teriak sang induk ayam ke ikan sahabatnya di tepian sebuah sungai.
Walau agak keheranan, sang ikan pun terpaksa mengajak anak ayam itu belajar berenang. Setelah mengajari bagaimana menggerakkan tubuh ketika dalam air, sang ikan ‘memaksa’ anak ayam menceburkan diri ke air sungai. Cara itulah yang pernah diajarkan kepada sang ikan ketika ia masih kecil.
Ternyata, bukan kemahiran berenang yang didapatkan anak ayam, justru, ia tak bisa nafas karena tersedak air yang terus masuk ke saluran nafas kecilnya. Anak ayam itu pun mati.
Kini, tinggal si induk ayam melamun dalam kesendirian. Ia masih terpaku dalam kebimbangan: anak-anaknya yang tidak bermutu, atau ia yang salah memperlakukan anak-anaknya.
**
Tidak banyak pemimpin yang mampu menimbang dengan adil antara keinginan dan obsesinya yang begitu tinggi dengan kemampuan yang dimiliki orang-orang yang dipimpinnya.
Alih-alih ingin meraih hal yang istimewa dari yang ia pimpin, justru orang-orang yang mengikutinya ‘berguguran’ tergilas obsesi para pemimpinnya. (muhammadnuh@eramuslim.com)
Komentar
Posting Komentar