Kisah Masjid Nabawi: Bertiang Pohon Kurma, Beratap Pelepah

nabawi-2.jpg
Jika Anda berkesempatan shalat di Masjid Nabawi di Madinah, tentu Anda tak kan pernah mengira bahwa masjid nan megah itu pada awalnya hanya sebuah masjid sederhana yang dibangun dengan material tanah liat; bertiang pohon kurma dan beratap pelepah pohon kurma. Itu pun lantaran di lahan hadiah beberapa penduduk anshar itu terdapat banyak pohon kurma yang sudah tua. Pondasi masjid hanya berupa cetakan tanah liat yang ditumpuk-tumpuk. Nabi sendirilah yang memimpin pembangunan masjid itu sekitar tahun 622 masehi silam.

Tata letak bangunan masjid memang sengaja dibuat mirip seperti tata bangunan rumah Nabi di Makkah, yang digunakan sebagai basis dakwah perjuangannya. Rumah Nabi di Mekkah itu berdiri di atas tanah seluas 2.500 meter firkan (persegi) yang dikelilingi oleh dinding-dinding tembok dengan bahan baku tanah liat. Sebagaimana kebiasaan bangsawan-bangsawan Arab pada masa itu, Nabi pun membuat sebuah pelataran besar di dalam lingkungan rumahnya. Pelataran itulah yang sering digunakan untuk menggelar syuro-syuro (rapat-rapat) bersama para sahabat seperjuangan.
Ketika Nabi hijrah ke Madinah bentuk seperti itu pun dijadikan sebagai pola masjid di sana. Pola itu biasanya disebut pola hypostyle. Pada sisi selatan pelataran dibuatkan portico atau serambi beratap, yang ditopang oleh tiga deret tiang dari batang pohon palm. Di sanalah Nabi sering berdiskusi membicarakan masalah-masalah keagamaan dan kenegaraan serta memimpin shalat berjamaah dengan para sahabat. Dahulu, pada sisi itu pula terdapat sebuah mimbar kayu sebagai tempat bagi nabi untuk berkhutbah. Menurut berbagai riwayat, itulah mimbar pertama yang digunakan Nabi. Malahan, mimbar itu disebut-sebut sebagai poin sentral dari Masjid Nabawi, pada masa-masa awal.
Arsitektural Masjid di Zaman Nabi
Menurut catatan para arkeolog arsitektural, masjid yang dibangun pada zaman Nabi punya beberapa karakterisrik, yakni: memiliki shahn (pelataran gedung terbuka yang dikelilingi tembok) dan portico yang sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Arab Semit, seperti yang terdapat pada sebuih kuil kuno peninggalan abad ke-2 SM. Sebagai catatan, kuil itu juga memiliki sebuah aula peribadatan berbentuk persegi panjang dengan serambi portico dan bertiang banyak.

nabawi.jpg

Boleh dibilang, struktur arsitektur asli Arab (arabesque) yang digunakan Nabi dalam masjidnya itu ternyata kemudian menjadi bentuk dan struktur masjid yang disukai di dunia muslim dari masa ke masa, khususnya di kawasan Maghribi, Afrika Tengah dan Masyriqi. Elemen shahn tadi, bahkan, kemudian menjadi salah satu ciri elemen arsitektural yang cukup menonjol dalam struktur arsitektur domestik, baik bangunan-bangunan berdimensi mewah maupun sederhana dalam sejarah arsitektur dunia Islam.
Pengembangan Masjid Nabawi
Masjid Nabawi pertama kali diperluas oleh Khalifah Umar ibn al-Khaththab dengan penambahan sebidang tanah di bagian utara. Selanjutnya, dilanjutkan semasa Utsman Ibn al-’Affan menjadi khalifah. Pembangunan tahap kedua ini berlangsung selama satu tahun (649-650 masehi).
Kemudian, pada masa Dinasti Umayyah berkuasa, Khalifah al-Walid memerintahkan para arsitek dan insinyur Arab melakukan perluasan dan restorasi fisik bangunan Masjid Nabi, istilah lain dari Masjid Nabawi. Walaupun pembangunan ini berskala besar, tapi khalifah tetap menghendaki agar struktur asli masjid tidak diubah: memiliki lapangan terbuka ber-portiko lengkap dengan mihrabnya.
Meski bentuk dasar aslinya dipertahankan, namun mihrab pada dinding bagian selatan (arah kiblat) akhirnya dimodifikasi melalui sentuhan kreasi tangan-tangan seniman ukir pada masa itu. Selain itu, para insinyur pelaksananya juga membangun minaret yang berfungsi sebagai tempat muazin melantunkan azan. Minaret, saat itu, dianggap sebagai unsur baru dalam arsitektur masjid.
Sepertinya, dalam melakukan modifikasi dan restorasi Masjid Nabawi, Khalifah al-Walid menggabungkan struktur arabesque dengan gaya bangunan peribadatan Byzantium. Selain itu, khalifah juga menggabungkan kamar-kamar ummahat al-mu’minin (para wanita-wanita bangsawan, baca: kepuntren, dalam konteks Jawa) sebagai bagian dari kompleks masjid. Semasa Khalifah Walid bin Abdul Malik juga dilakukan penambahan lahan seluas 2.369 meter firkan (meter persegi).
Masjid ini jelas memiliki kharisma tersendiri di mata para dinasti penguasa Islam. Hampir semua dinasti yang sedang berkuasa mengambil prakarsa untuk melakukan pemugaran masjid, seperti Khalifah al-Mahdi dari Dinasti Abbasiyah; Sultan Qaitabai dari Dinasti al-Mamalik (Mamluk) yang membangun kubah di atas kamar Nabi; dan Sultan Mahmud II dari Dinasti Turki Utsmani. Pada tahun 1813, Sultan Mahmud II membangun kubah yang dibalut dengan timah dan dicat dengan warna hijau menggantikan kubah yang dibangun oleh Sultan Qaitabai.
Empat puluh delapan tahun kemudian (1861), Sultan Abdul Majid I—masih dari Dinasti Turki Utsmani—memerintahkan agar semua bangunan masjid diruntuhkan, kecuali kamar Nabi. Selanjutnya masjid dibangun kembali dengan perluasan hingga mencapai 1.293 meter firkan. Inilah, perluasan terakhir sebelum akhirnya Masjid Nabawi ditangani oleh pemerintah Arab Saudi.
Masa Kerajaan Arab Saudi
Ketika Raja Abdul Aziz, sang Raja Arab Saudi, diberi kehormatan untuk mengurusi Masjid al-Haram dan Masjid Nabawi ia memberikan perhatian yang sangat besar kepada kedua masjid tersebut. Tatkala Raja mendapat laporan bahwa Masjid Nabawi sudah tidak mampu lagi menampung jama’ah shalat sehingga membuat jamaah terpaksa melakukan ibadah shalat di lorong-lorong dan jalan di sekitar masjid, Raja mengeluarkan instruksi untuk kembali melakukan perluasan masjid.
Proyek perluasan pun dilakukan selama empat tahun mulai Juli 1951 (Syawal 1370) hingga tahun 1955 (1375). Perluasan itu mencapai 12.271 meter firkan, terdiri atas: 6.247 meter firkan areal pembongkaran Sultan Abdul Masjid dan 6.024 meter firkan penambahan baru. Maka, luas masjid pun menjadi menjadi 16.327 meter firkan, sedangkan sisa bangunan yang dibangun semasa Dinasti Turki Utsmani hanya 4.056 meter firkan.
Kemudian, Raja Fahd pun turut andil melakukan perluasan masjid. Pada 5 Oktober 1984, perletakan batu pertama perluasan masjid berskala besar kembali dilaksanakan. Lantai dasar sisi utara, barat dan timur diperluas hingga 82.000 meter firkan sehingga bisa menampung 127.000 jama’ah. Juga, perluasan atap seluas 67.000 meter firkan berkapasitas 90.000 jama’ah. Setelah ditambahkan perluasan-perluasan pada bagian lain, total perluasan mencapai 165.000 meter firkan dengan kapasitas menjadi 257.000 jama’ah.
Kini, Masjid Nabawi memiliki 10 minaret (menara): masing-masing setinggi 105 meter ditambah ornamen tiang bulan sabit. Tinggi lantai dasar 12,55 m dan ruang bawah tanah setinggi 4 meter. Jumlah tiang masjid selama perluasan 2.104 tiang berdiameter 64 cm dengan jarak antartiang antara 6 meter sampai 18 meter yang membentuk serambi dan pelataran.
Hebatnya, masjid ini memiliki 27 kubah berteknologi tinggi, yang dapat dibuka secara elektrik untuk pengaturan kondisi udara alami dalam masjid. Seluruh kubah itu menaungi 18 x 18 meter firkan yang membentuk pelataran terbuka dalam masjid (tipe hipostyle). Tinggi kubah itu dari lantai atap mencapai 3,5 meter. Sedangkan dari lantai dasar 16,56 meter berdiameter 2,3 meter dan jari-jari tinggi 4 meter.
Sementara itu, pada makam Rasulullah terdapat gambar-gambar dekoratif bermotif bandul, lampu, masjid dan menara. Sambungan dekorasi ukiran kayu, marmer dan logam pada jendela, pintu, tiang, dikerjakan dengan sangat teliti dengan tingkat presisi yang sangat tinggi.
Masjid Nabawi telah mengalami banyak perluasan dan pembangunan oleh banyak penguasa. Namun, bentuk dasarnya tetap tak berubah: struktur hypostyle sebagai struktur arabesque. Struktur inilah yang dipakai masjid-masjid terkenal lain di dunia. (dari berbagai sumber).

Komentar