Nabi Yusuf Alaihissalam dan Kebangkitan Mesir




Di antara sunnatullah (hukum Allah) adalah bahwa Allah Ta’ala memberikan cobaan kepada pengemban dakwah sebelum menjadikannya berkuasa di muka bumi. Inilah sunnatullah yang tidak akan berubah seperti yang diterangkan dalam firman Allah Ta’ala, “(Demikianlah) hukum Allah yang telah berlaku sejak dahulu, kamu sekali-kali tidak akan menemukan perubahan pada hukum Allah itu.” (QS. Al-Fath: 23).

Adalah Nabi Yusuf Alaihissalam salah seorang pengemban dakwah itu. Dia pernah digoda dan dirayu oleh seorang istri penguasa di zamannya dengan perhiasan dan keindahan parasnya. Peristiwa ini disebutkan dalam firman Allah Ta’ala, “Dan perempuan yang dia (Yusuf) tinggal di rumahnya menggoda dirinya. Dan dia menutup pintu-pintu, lalu berkata, “Marilah mendekat kepadaku.” Yusuf berkata, “Aku berlindung kepada Allah, sungguh, tuanku telah memperlakukan aku dengan baik.” Sesungguhnya orang yang zhalim itu tidak akan beruntung.” (QS. Yusuf: 23)



Sungguh Allah Ta’ala telah menyelamatkannya dari perbuatan haram dan perzinaan. Lazim diketahui bahwa di usia muda, naluri seksual seseorang masih menggebu-gebu. Naluri ini merupakan makhluk buta yang tidak dapat melihat, makhluk tuli yang tidak bisa mendengar, makhluk bisu yang tidak bisa berbicara, naluri yang mendesak empunya untuk menyalurkannya dengan melakukan kemaksiatan dan dosa. Hal yang sama juga dirasakan Nabi Yusuf Alaihissalam, meskipun dia masih muda dan berada jauh dari pantauan orang-orang, meskipun dia hanya berdua dengan istri penguasa itu, akan tetapi dia lebih memilih untuk berpegang teguh dengan tali agama Allah sehingga Allah pun menjaga kehormatannya. Allah Ta’ala berfirman tentang perkataan istri penguasa tersebut, “Dan sungguh, aku telah menggoda untuk menundukkan dirinya tetapi dia menolak” (QS. Yusuf: 32). Penyebab Yusuf Alaihissalam terhindar dari kemaksiatan adalah seperti yang diterangkan Allah Ta’ala dalam firman-Nya, “Sungguh, dia (Yusuf) termasuk hamba Kami yang terpilih.” (QS. Yusuf: 24). Sungguh, siapa saja yang mengingat Allah Ta’ala di waktu lapang Allah akan mengingatnya di waktu sempit.

Yusuf Alaihissalam lebih memilih ujian dalam urusan dunia dari pada diuji dalam urusan agama, sehingga dia pun mau mendekam di penjara walau dalam keadaan terzhalimi, sebab dia merasa bahwa dirinya hampir jatuh ke dalam jurang perzinaan dan kenistaaan. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa “Tidaklah sempurna keimanan seseorang yang sedang berbuat zina.” (HR. Muslim, Abu Dawud dan At-Tirmidzi)

Cobaan yang dilalui oleh Nabi Yusuf Alaihissalam sangat berat. Dia dijebloskan ke dalam penjara karena perbuatan yang tidak pernah dia lakukan sama sekali. Dia menerima semuanya dengan hati yang tenang dan menyerahkannya kepada Allah Ta’ala; sebab dia yakin bahwa tidak ada sesuatu pun yang terjadi di dunia ini melainkan atas izin dan kehendak Allah Ta’ala. Dalam hal ini Allah Ta’ala berfirman, “Yusuf berkata, “Wahai Tuhanku! Penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka. Jika aku tidak Engkau hindarkan dari tipu daya mereka, niscaya aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentu aku termasuk orang yang bodoh. Maka Tuhan memperkenankan doa Yusuf, dan Dia menghindarkan Yusuf dari tipu daya mereka. Dialah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui. Kemudian timbul pikiran pada mereka setelah melihat tanda-tanda (kebenaran Yusuf) bahwa mereka harus memenjarakannya sampai waktu tertentu.” (QS. Yusuf: 33-35).

Yusuf Alaihissalam telah berhasil melalui berbagai cobaan yang berat, sehingga dia menjadi salah seorang yang mempunyai kedudukan terhormat di negeri Mesir kala itu. Imam Syafi’i pernah ditanya, “Manakah yang lebih dahulu antara diuji atau mempunyai kedudukan?” Dia berkata, “Tidak ada seorang pun yang mempunyai keudukan sebelum diuji terlebih dahulu.”

Yusuf Alaihissalam Seorang Dai yang Dipenjara


Meskipun dijebloskan ke dalam penjara karena fitnah yang dilontarkan seorang istri penguasa kepadanya, Yusuf Alaihissalam tetap berdakwah dan menyampaikan nasehat kepada orang lain yang berada di penjara bersamanya. Hal ini tergambar dalam firman Allah Ta’ala, “Dan bersama dia masuk pula dua orang pemuda ke dalam penjara...” (QS. Yusuf: 36).

Setelah beberapa lama berinteraksi dengan Yusuf Alaihissalam, kedua pemuda itu dapat mengenal kepribadian dan budi pekertinya yang baik di samping ketakwaan dan keshalihannya. Oleh karena itu, ketika dua pemuda tersebut bermimpi maka merekapun berkata kepada Nabi Yusuf Alaihissalam, “Berikanlah kepada kami takwilnya. Sesungguhnya kami memandangmu termasuk orang yang berbuat baik.” (QS. Yusuf: 36). Karakter dai sejati akan selalu terlihat kapapun dan dimanapun dia berada. Akidah yang bersih, ibadah yang benar dan budi pekerti yang baik akan senantiasa terpatri dalam dirinya setiap saat, bahkan ketika berada dalam penjara dan mengalami kesulitan di dalam hidupnya.

Yusuf Alaihissalam membuktikan kenabiannya kepada mereka dengan takwil mimpi. Dia dapat mengetahui makanan apa pun yang akan diberikan sebelum sampai kepada mereka berdua. Ini adalah pengetahuan tentang sesuatu yang gaib. Tidak ada seorang pun yang mengetahui hal-hal yang gaib selain Allah dan orang-orang diberitahu Allah di antara para Nabi dan Rasul-Nya. Allah Ta’ala berfirman, “Kecuali kepada rasul yang diridai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di depan dan di belakangnya.” (QS. Al-Jinn: 27).

Sifat rendah hati Yusuf Alaihissalam terlihat oleh teman-temannya di penjara ketika menyandarkan ilmu yang diketahuinya kepada Pemiliknya yang hakiki, yakni Allah Ta’ala dengan mengatakan, “Itu sebagian dari yang diajarkan Tuhan kepadaku.” (QS. Yusuf: 37). Ini adalah salah satu metode Nabi Yusuf Alaihissalam dalam mengajak mereka untuk beriman kepada Allah dan mengesakan-Nya. Dialah Allah Yang Maha Berkuasa atas segala sesuatu dan Maha Mengetahui segala sesuatu yang ada di langit dan bumi.

Salah satu bentuk pengaplikasian tauhid di dalam kehidupan sehari-hari adalah sikap loyalitas dan anti loyalitas yang dapat dilakukan dengan mengingkari perbuatan syirik dan penyembahan terhadap berhala. Yusuf Alaihissalam telah menyatakannya secara eksplisit kepada kaumnya dan mengajak mereka untuk beriman kepada Allah Ta’ala dengan menuturkan, “Sesungguhnya aku telah meninggalkan agama orang-orang yang tidak beriman kepada Allah, bahkan mereka tidak percaya kepada hari akhirat.” (QS. Yusuf: 37).

Nabi Yusuf Alaihissalam mengikuti metode dakwah para pendahulunya dari Nabi dan Rasul yang telah diutus kepada kaumnya masing-masing. Dia bukan orang yang melakukan perbuatan bid’ah dalam kenabian dan urusan agama, namun dia adalah pengikut setia agama yang benar. Allah Ta’ala menerangkan perkataan Nabi Yusuf Alaihissalam dalam firman-Nya, “Dan aku mengikuti agama nenek moyangku: Ibrahim, Ishaq dan Ya‘qub. Tidak pantas bagi kami (para nabi) mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Allah.” (QS. Yusuf: 38). Nabi Yusuf Alaihissalam pun menyandarkan semua nikmat yang diterimanya kepada Allah semata dengan menyatakan, “Itu adalah dari karunia Allah kepada kami dan kepada manusia (semuanya); tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.” (QS. Yusuf: 38)

Setelah itu, Yusuf Alaihissalam berdialektika dengan teman-temannya di penjara mengenai tuhan-tuhan yang selama ini mereka sembah. “Wahai kedua penghuni penjara! Manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Mahaesa, Mahaperkasa?” (QS. Yusuf: 39). Allah adalah Tuhan yang sebenarnya dan apa saja yang diseru selain Allah adalah batil. Sebab, tuhan-tuhan yang disembah kaumnya dibuat oleh tangan-tangan mereka sendiri dan mereka pula yang memberinya nama. Sesembahan yang mereka anggap sebagai tuhan itu tidak dapat mendatangkan manfaat dan menolak bahaya untuk dirinya apalagi untuk orang lain.

Yusuf pun menyoroti masalah urgen dalam hal mengesakan Allah yaitu masalah hukum dan pemerintahan. Hal ini harus dijalankan sesuai dengan rambu-rambu yang telah diatur oleh Allah Ta’ala, dan tidak boleh dipersembahkan untuk tuhan selain Allah atau pun manusia. Sehingga dapat disimpulkan bahwa semua ibadah harus diniatkan hanya untuk Allah.

Yusuf Berperan Sebagai Menteri Perencanaan Pembangunan dan Pertanian
Kisah Yusuf Alaihissalam yang berperan sebagai menteri perencanaan pembanguan dan pertanian dimulai ketika dia menafsirkan mimpi raja. Yusuf Alaihissalam adalah salah seorang Nabi yang dikarunia Allah Ta’ala kemampuan menafsirkan mimpi di masanya. Pada saat menjalani hukum di penjara dia harus menafsirkan mimpi orang yang memusuhinya yakni raja Mesir pada zaman itu. Yusuf Alaihissalam tetap menyebutkan tafsir mimpi yang benar dan memberi saran yang baik kepada sang raja tanpa mengharapkan imbalan moril maupun materil. Allah Ta’ala berfirman, “Dan raja berkata (kepada para pemuka kaumnya), “Sesungguhnya aku bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus; tujuh tangkai (gandum) yang hijau dan (tujuh tangkai) lainnya yang kering. Wahai orang yang terkemuka! Terangkanlah kepadaku tentang takwil mimpiku itu jika kamu dapat menakwilkan mimpi.” (QS. Yusuf: 47)

Pada saat itu tidak seorang pun yang mampu menakwilkan mimpi tersebut dan para pejabat kerajaan mengatakan, “Itu adalah mimpi-mimpi yang kosong.” Salah seorang teman Yusuf yang pernah berada di penjara bersamanya meminta kepada raja untuk memberitahukan mimpi yang dialaminya itu kepada Yusuf; karena dia pernah menakwilkan mimpi yang alaminya.

Setelah mendengarkan pemaparan utusan raja, Yusuf menyusun strategi jitu dalam jangka 15 tahun untuk menyelamatkan negara dari bencana kelaparan. Seperti ditafsirkan, bahwa akan datang musim kemarau yang berkepanjangan, sehingga diperlukan strategi agar rakyat Mesir mempunyai cadangan pangan yang cukup. Allah Ta’ala berfirman, “Dia (Yusuf) berkata, “Agar kamu bercocok tanam tujuh tahun (berturut-turut) sebagaimana biasa; kemudian apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan di tangkainya kecuali sedikit untuk kamu makan.” (QS. Yusuf: 47).

Masyarakat dihimbau untuk mengkonsumsi makanan secukupnya agar dapat menyisakannya sedikit untuk masa paceklik dan krisis bahan pangan. Allah Ta’ala berfirman, “Kemudian setelah itu akan datang tujuh (tahun) yang sangat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari apa (bibit gandum) yang kamu simpan.” (QS. Yusuf: 48).

Di masa paceklik dan krisis bahan pangan rakyat akan bergantung kepada cadangan pangan yang mereka miliki. Jika orang-orang tidak memiliki persediaan makanan yang cukup maka apa yang harus mereka lakukan dalam situasi yang sulit ini? Tidak diragukan lagi mereka harus berutang kepada orang lain. Seperti yang dikatakan pepatah, hutang membuat gelisah di malam hari dan membuat malu diri sendiri di hadapan orang lain pada siang hari.

Setelah masa sempit datanglah masa kejayaan, dan setelah kegelapan terbitlah fajar. Itulah tahun ke-15 seperti yang ditakwilkan oleh Nabi Yusuf Alaihissalam. Pada masa itu hujan turun membasahi bumi yang membuatnya hijau dan tanaman pun tumbuh di mana-mana, sehingga banyaklah pohon yang berbuah dan dapat dipetik manusia dengan mudah. Allah Ta’ala berfirman, “Setelah itu akan datang tahun, di mana manusia diberi hujan (dengan cukup) dan pada masa itu mereka memeras (anggur).” (QS. Yusuf: 49).

Demikianlah yang ditafsirkan oleh Yusuf Alaihissalam. Dia pernah diminta untuk pergi menemui raja, namun dia menolak sampai dibuktikan bahwa dia benar-benar tidak bersalah terkait fitnah yang dialamatkan kepada dirinya. Dia berharap pengadilan bersedia membuka kembali berkas kasusnya dan membuktikan siapa sebenarnya yang bersalah sehingga pengadilan merehabilitasi namanya. Dan memang benar, Yusuf Alaihissalam tidak bersalah sama sekali, dia berada di pihak yang benar. Kebenarannya ibarat sinar matahari pada siang hari, cahaya bulan di malam hari dan cahaya fajar di waktu subuh. Istri penguasa yang memfitnahnya mengakui kesalahannya. Wanita itu bersaksi bahwa dialah yang melakukan konspirasi terhadap Yusuf Alaihissalam. Kesaksiannya diperkuat oleh perempuan-perempuan yang melukai tangannya sendiri dengan pisau tanpa sadar ketika melihat Yusuf Alaihissalam menemui mereka. Yusuf Alaihissalam pun keluar dari penjara dalam keadaan terhormat menuju istana raja. Allah Ta’ala berfirman, “Istri Al-Aziz berkata, “Sekarang jelaslah kebenaran itu, akulah yang menggoda dan merayunya, dan sesungguhnya dia termasuk orang yang benar.” (QS. Yusuf: 51).

Yusuf Alaihissalam seorang pesakitan yang dulunya berada di penjara dan sekarang diangkat menjadi seorang menteri. Tidak ada keraguan bahwasanya seseorang tidak disyariatkan untuk menggangap dirinya suci dan tidak pula meminta-minta jabatan. Namun apabila tidak seorang pun yang kapabel dalam sebuah jabatan maka dia harus berada di garis terdepan untuk memangkunya. Sebab, dia adalah Nabi yang selalu menerima wahyu dari Allah, sehingga dia tidak takut dihinggapi rasa sombong dan takabur. Allah Ta’ala berfirman, “Dia (Yusuf) berkata, “Jadikanlah aku bendaharawan negeri (Mesir); karena sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, dan berpengetahuan.” (QS. Yusuf: 51). Sifat amanah sangat ditekankan bagi para pemangku jabatan seperti menteri. Sebab, harta kekayaan negara berada di bawah kekuasaannya, dialah yang mendistribusikannya tanpa ada pihak mengawasinya. Sehingga seorang menteri atau bendaharawan harus mempunyai kredibilitas yang tinggi. Karakter pribadi Yusuf inilah yang mengantarkannya kepada kedudukan yang mulia, oleh karena itu sifatnya sebagai seorang yang pandai menjaga amanah disebutkan sebelum sifatnya sebagai orang yang berpengetahuan seperti yang digambarkan ayat di atas.

Dalam firman Allah Ta’ala di atas juga dapat kita pahami bahwa semua kekayaan negeri Mesir sangat cukup untuk penduduknya jika dikelola oleh seorang pemimpin yang amanah dalam tugasnya, mampu memberdayakan potensi yang ada di negeri ini, sanggup mengerahkan seluruh kemampuannya, dan bisa menciptakan inovasi-inovasi yang hebat.

Kisah Yusuf Alaihissalam ini berakhir bahagia karena Allah Ta’ala menganugerahkan kedudukan kepadanya di negeri Mesir. Tidak ada yang terjadi di dunia ini kecuali atas kehendak Allah Ta’ala. Inilah petunjuk Allah kepada Nabi Yusuf Alaihissalam. Peran Yusuf Alaihissalam hanyalah menjalankan tugasnya secara profesional dan proporsional, sementara pahala hanya berasal dari Allah semata bukan dari manusia. Allah Ta’ala berfirman, “Kami melimpahkan rahmat kepada siapa yang Kami kehendaki dan Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Yusuf: 56)

Hanya kepada Allah kita memohon agar menjadikan kita termasuk di antara orang-orang yang beramal dengan ikhlas karena mengharapkan ridha-Nya. Amiin.[]

Dr. Ahmad Syahin
Dosen Fakultas Dakwah di Universitas Al-Azhar Mesir dan Universitas Thaibah Madinah Al-Munawwarah.

Disarikan oleh Yum Roni Askosendra (PP KAMMI)

Komentar