Oleh Fuad Rumi*
DULU, kepada penyembah berhala Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat tantangan yakni ayat 73 surah Al-Hajj. Tuhan menantang mereka dengan kalimat “sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah, tidak akan mampu menciptakan seekor lalat sekalipun, walaupun semuanya bersatu untuk melakukannya”.
Siapakah yang mereka seru selain Allah? Tidak lain adalah berhala, yang kemudian mereka seru atau sembah.

Ya, berhala-berhala yang nota bene dibuat oleh tangan mereka sendiri, sudah pastilah tidak punya daya apa-apa. Bahkan untuk menciptakan lalat yang kecil dan sepele saja tidak bisa. Malah, dikatakan lagi pada mereka, jika lalat itu mengambil sesuatu dari kalian, niscaya kalian tidak mengetahui apa yang telah diambil oleh lalat itu dan kalian tidak bisa mengambilnya kembali. Tuhan lalu mencemooh keduanya, alangkah lemahnya yang menyembah dan disembah.

Sekarang, manusia modern tidak menyembah berhala yang berupa patung-patung. Tapi manusia modern mengagung-agungkan teknologi. Teknologi adalah produk andalan manusia yang dibanggakan sebagai ciptaan manusia yang bisa menghasilkan apa saja.

Dengan teknologinya, manusia membuat pesawat terbang, roket, satelit dan pesawat ulang-alik. Dengan pesawat angkasa luar itu, manusia sudah menginjakkan kaki di bulan dan menancapkan bendera di permukaannya. Dengan pesawat ulang-alik, manusia sudah silih berganti bolak-balik ke angkasa luar lebih jauh dari bulan. Misi penjelajahan ke planet lain terus diupayakan dengan cita-cita satu waktu bisa menjejakkan kaki di planet Mars. Untuk itu teknologi roket dan pesawat ruang angkasa terus dipercanggih.
Tapi di tengah kecanggihan membuat pesawat angkasa luar tersebut, kembali melalui ayat tadi Allah mengajukan tantangan, bisakah kalian menciptakan seekor lalat? Lalat hidup, yang kebanyakan dianggap sepele dan pembawa penyakit itu?

Sangat meyakinkan, firman Allah dalam surah Al-Hajj ayat 73, bukan hanya menantang dan kemudian mencemooh kaum musyrikin yang mengandalkan berhala-berhalanya. Dalam kehidupan modern sekarang ini, pada saat manusia mengandalkan teknologinya sehingga manusia merasa tidak lagi membutuhkan Tuhan, maka tantangan itu sangat relevan. Bisakah teknologi yang kamu andalkan menciptakan seekor lalat? Ketika dengan teknologi kalian bisa membuat pesawat canggih bahkan pesawat ruang angkasa, bisakah kalian menciptakan teknologi yang bisa memproduk lalat?

Ini sebenarnya adalah sebuah cara Tuhan untuk menyadarkan manusia. Manusia yang mengaku sebagai mahluk cerdas dan bangga dengan beraneka macam produk kecerdasannya, betapa sering justru menunjukkan kebodohannya sendiri. Termasuk kebodohan yang membuatnya tidak bisa merenungi kelemahan segala yang diandalkannya. Manusia cerdas hanya mampu kagum dengan teknologinya yang bisa membuat pesawat angkasa yang canggih, tapi tidak mampu merenungi kenyataan bahwa teknologinya itu tidak berdaya untuk menciptakan mahluk hidup yang kecil sekali pun. Tuhan sengaja memilih lalat sebagai bahan tantangan yang sekaligus mengejek manusia yang mengandalkan dan memuja sesuatu selain Allah.
Itulah ironi manusia modern dalam dunia yang diklaim semakin maju sekarang ini. Pada satu pihak ia unjuk kecerdasan dengan berbagai produk kecerdasannya, tapi pada pihak lain ia sendiri unjuk kebodohan, melakukan “bunuh diri” dengan produk kecerdasannya itu. Betapa sering sebuah teknologi dipuja-puja kecanggihannya namun belakangan kemudian baru disadari bahwa penggunaannya menimbulkan berbagai kerusakan. Bayangkan pula bagaimana manusia cerdas membuat senjata nuklir lalu kemudian ketakutan sendiri dengannya.

Jika dengan berhala yang disembah manusia musyrik tidak mengenal Tuhan yang sebenarnya, maka pemujaan teknologi juga menghasilkan hal yang sama. Dengan teknologi manusia bisa menjadi musyrik karena lupa kepada Tuhan dan merasa segala kebutuhannya sudah bisa dipenuhi oleh teknologi. Manusia tidak merasa perlu mendengar firman Tuhan. Yang diperlukan adalah iklan yang bisa menuntun memilih apa dan melakukan apa. Firman Tuhan tidak dikaji, iklan televisi justru disimak baik-baik bahkan dihafal. Sungguh, sebuah ironi.
**Penulis adalah dosen di Universitas Muslim Indonesia (UMI), Makassar. SUARA HIDAYATULLAH,OKTOBER 2011

Komentar