Di Kufah, Abu Hanifah memiliki seorang
tetangga tukang sepatu. Sepanjang hari bekerja, menjelang malam ia baru
pulang ke rumah. Biasanya ia membawa oleh-oleh berupa daging untuk
dimasak atau seekor ikan besar untuk dibakar. Selesai makan, ia
minum-minum seraya bernyanyi-nyanyi dan berhenti jauh malam setelah ia
merasa mengantuk sekali, kemudian tertidur pulas.
Seusai shalat subuh, Abu Hanifah naik bighalnya menuju istana. Ia hendak menemui Amir Kufah. Kedatangan Abu Hanifah disambut dengan penuh khidmat dan hormat. Sang Amir sendiri yang berkenan menemuinya.
“Ada yang bisa aku bantu?” tanya sang Amir.
“Tetanggaku tukang sepatu kemarin ditangkap polisi. Tolong lepaskan ia dari tahanan Amir,” jawab Abu Hanifah.
“Baiklah,” kata sang Amir yang segera menyuruh seorang polisi penjara untuk melepaskan tetangga Abu Hanifah yang baru ditangkap kemarin petang.
Abu Hanifah pulang dengan naik bighalnya secara perlahan. Sementara, si tukang sepatu berjalan kaki di belakangnya. Ketika tiba di rumah, Abu Hanifah turun dan menoleh kepada tetangganya itu seraya berkata, “Bagaimana? Aku tidak mengecewakanmu kan?”
“Tidak, bahkan sebaliknya,” jawab si tukang sepatu.
“Terima kasih. Semoga Allah memberimu balasan kebajikan,” lanjut si tukang sepatu
Sejak itu ia tidak lagi mengulangi kebiasaannya, sehingga Abu Hanifah dapat merasa lebih khusyu’ dalam ibadahnya setiap malam.
Tembok Pembatas
Di era globalisasi, kini merupakan sebuah hal biasa ketika setiap
kita terlihat sibuk dalam kesehariannya, bahkan terdapat sebuah ungkapan
“pulang dan pergi seharian sehingga tak mampu melihat matahari terbit dan tenggelam”.
Tingginya tingkat egoisme, individualisme dan hedonisme mengakibatkan
terciptanya “tembok pembatas” dalam bermasyarakat. Adakalanya “tembok
pembatas” dalam bermasyarakat timbul dikarenakan kurangnya intensitas
bersosialisasi dalam bermasyarakat.
Padatnya aktifitas dan besarnya peranan
kita dalam sebuah institusi ataupun organisasi, tak jarang menjadikan
sedikitnya waktu untuk bersosialisasi dalam bermasyarakat. Dalam hal
ini, Rasulullah saw telah mengingatkan umatnya dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Tirmidzi, Rasulullah saw menjadikan akhlak kepada
tetangga sebagai acuan penilaian kebaikan seseorang. ”Sebaik-baik
kawan di sisi Allah adalah yang paling baik (budi pekertinya) terhadap
kawannya, sebaik-baik tetangga adalah yang paling baik kepada
tetangganya.”
Dan Allahpun berfiman dalam QS. An Nisa’:36, “Berbuat
baiklah kepada kedua orang, ibu bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat,
ibnu sabil, dan hamba sahaya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang sombong dan membangga-banggakan diri”.
Letak Sebuah Kebermanfaatan
“Khairun naasi anfa’uhum linnaas”, sebaik-baik manusia
adalah siapa yang paling banyak bermanfaat bagi orang lain. Manusia
bukan sekedar makhluk indvidu, melainkan manusia adalah makhluk social,
yang mana segala yang ada dalam dirinya berpotensi membawa pengaruh
terhadap lingkungan disekitarnya. Menjadi manusia bermanfaat disini
tidaklah sekedar bermanfaat bagi institusinya, golongannya ataupun
organisasinya, melainkan meliputi seluruh aspek kehidupan dalam
bermasyarakat pada umumnya.
“Menjadi ada adalah karunia, sebab kita
tak dapat mengadakan diri kita sendiri. Tapi menjadi ada saja tidaklah
cukup, kita ada karena diperintahkan untuk memiliki makna,” kata Ustadz Ahmad Zairofi.
Bagaimana kita dapat menjadi manusia yang bermanfaat jika enggan untuk bersosialisasi dalam bermasyarakat?
Sebagaimana kisah Abu Hanifah yang tetap
menebarkan kebaikan terhadap tetangganya dengan membantunya mendapatkan
ampunan dari sang amir hingga menjadikan si tukang sepatu tersadar dan
tidak mengulangi kebiasaan buruknya. Sebagaimana pula kisah khalifah
umar yang begitu memperhatikan kondisi masyarakat disekitarnya, hingga
rela menggendong karung gandum seorang diri guna membantu kekurangan
tetangga disekitarnya.
Islam memerintahkan umatnya untuk
bertetangga secara baik. Bahkan, Rasulullah saw pernah mengira tetangga
termasuk dalam ahli waris, dikarenakan seringnya Jibril mewasiatkan agar
bertetangga dengan baik. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, ”Jibril selalu mewasiatkan kepadaku tentang tetangga sampai aku menyangka bahwa ia akan mewarisinya”
(HR Bukhari-Muslim). Namun, ternyata waris atau warisan yang dimaksud
Jibril adalah agar umat Islam selalu menjaga hubungan baik dengan sesama
tetangga. Bertetangga dengan baik itu, termasuk menyebarkan salam
ketika bertemu, menyapa, menanyakan kabarnya, menebar senyum, dan
mengirimkan hadiah. Sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, ”Wahai Abu Dzar, jika engkau memasak sayur maka perbanyaklah airnya dan bagikanlah kepada tetanggamu” (HR Muslim)
Dan dikisahkan dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh bukhari, terdapat seorang wanita bersusah payah
melaksanakan shalat wajib, bangun malam, menahan haus dan lapar, serta
mengorbankan harta untuk berinfak, namun menjadi mubazir lantaran buruk
dalam bertutur sapa dengan tetangganya. Rasulullah bersumpah terhadap
orang yang berperilaku demikian, tiga kali, dengan sumpahnya, ”Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman…!”
Sahabat bertanya, ”Siapa, ya Rasulullah?”
Beliau menjawab, ”Orang yang tetangganya tidak pernah merasa aman dari keburukan perilakunya”
***
“Ya Tuhan, kami telah
menganiaya diri kami sendiri dan jika Engkau tidak mengampuni kami,
niscaya kami termasuk orang-orang yg merugi” (QS.Al A’raf : 23)
Oleh : Meylina Hidayanti, Sragen
Guru IPS Terpadu SMPIT Az Zahra Sragen
Guru IPS Terpadu SMPIT Az Zahra Sragen
http://www.fimadani.com/pesan-malaikat-jibril-yang-mulai-terlupakan/
Komentar
Posting Komentar