Setelah Sang Agen, Amru bin Luhai, menanam benih ‘bid’ah hasanah’ dengan mendatangkan berhala-berhala dan membuat ritus-ritus agama yang baru di atas ajaran tauhid Nabi Ibrahim dan Ismail di Lembah Makkah, dan diikuti dengan hampir seluruh penduduk Jazirah Hijaz, maka paganisme jahiliyah pun semakin merata di kalangan Bangsa Arab. Yang lebih menyedihkan, para penyembah berhala di Arab saat itu masih merasa dan mengklaim diri mereka berada di atas millah Ibrahim yang hanif. Padahal orang buta pun tahu bahwa paganisme mereka berbeda 180 derajat dari tauhidullah yang dibawa Nabi Ibrahim.
Mereka memiliki berbagai kreasi ibadah yang kebanyakan diciptakan oleh Amru bin Luhai. Syaikh Shafiyurrahman Al Mubarakfuri dalam Rahiq Al Makhtum menyebutkan berbagai prosesi penyembahan berhala yang mereka lakukan.
1. Berdiam lama di hadapan berhala, berlindung kepadanya, menyebut-nyebut namanya, dan meminta pertolongan tatkala menghadapi kesulitan serta berdoa kepadanya, agar ia memenuhi hajat mereka dengan keyakinan bahwa berhala-berhala tersebut bisa memberikan syafa’at di sisi Allah dan mewujudkan apa yang mereka inginkan.
2. Menunaikan haji dan thawaf di sekeliling berhala seraya menghinakan diri di sisinya dan bersimpuh sujud kepadanya.
3. Melakukan taqarrub kepada berhala mereka dengan berbagai bentuk persembahan, menyembelih dan berkorban untuknya dengan menyebut namanya pada saat menyembelih.
4. Mengkhususkan sesuatu dari makanan dan minuman yang mereka pilih untuk disajikann kepada berhala, dan juga mengkhususkan bagian tertentu dari hasil panen dan binatang ternak mereka. Konyolnya, mereka juga mengkhususkan bagian tertentu itu untuk Allah, disamping bagian yang dipersembahkan untuk berhala mereka. Demikian dijelaskan dalam Al An’am ayat 136.
“Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka, ‘Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami.’ Maka saji-sajian yang diperuntukkan bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah; dan saji-sajian yang diperuntukkan bagi Allah, maka sajian itu sampai kepada berhala-berhala mereka. Amat buruklah ketetapan mereka itu.”
5. Mereka juga bernadzar menyajikan sebagian hasil tanaman dan ternak untuk berhala tersebut sebagaimana disinyalir dalam Al An’an 138.
“Dan mereka mengatakan, ‘Inilah hewan ternak dan tanaman yang dilarang; tidak boleh memakannya, kecuali orang yang kami kehendaki’, menurut anggapan mereka, dan ada binatang ternak yang diharamkan menungganginya dan ada binatang ternak yang mereka tidak menyebut nama Allah waktu menyembelihnya, semata-mata membuat-buat kedustaan terhadap Allah. Kelak Allah akan membalas mereka terhadap apa yang selalu mereka ada-adakan.”
6. Dalam Al Ma’idah ayat 103 dan Al An’am ayat 139, Allah berfirman mengenai jenis ritus lain yang dilakukan oleh orang-orang Jahil kala itu.
“Allah sekali-kali tidak pernah mensyari’atkan adanyabahirah, saibah, washilah, dan ham. Akan tetapi orang-orang kafir membuat-buat kedustaan terhadap Allah, dan kebanyakan mereka tidak mengerti.”
Bahirah ialah unta betina yang telah beranak lima kali dan anak kelima itu jantan, lalu unta betina itu dibelah telinganya, dilepaskan, tidak boleh ditunggangi lagi dan tidak boleh diambil air susunya.
Saibah ialah unta betina yang dibiarkan pergi kemana saja lantaran sesuatu nadzar. Seperti, jika seorang Arab Jahiliyah akan melakukan sesuatu atau perjalanan yang berat, maka ia biasa bernadzar akan menjadikan untanya saibah bila maksud atau perjalanannya berhasil dengan selamat.
Washilah ialah seekor domba betina melahirkan anak kembar yang terdiri dari jantan dan betina, maka yang jantan ini disebut washilah, tidak disembelih dan diserahkan kepada berhala.
Ham adalah unta jantan yang tidak boleh diganggu gugat lagi, karena telah dapat membuntingkan unta betina sepuluh kali.
“Dan mereka mengatakan, ‘Apa yang ada dalam perut binatang ternak ini adalah khusus untuk pria kami dan diharamkan atas wanita kami,’ dan jika yang dalam perut itu dilahirkan mati, maka pria dan wanita sama-sama boleh memakannya. Kelak Allah akan membalas mereka terhadap ketetapan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.”
Yang dimaksud dalam ayat ini adalah binatang bahirah dan saibah.
Selain nyata-nyata melakukan penyembahan terhadap berhala, kehidupan sehari-hari mereka juga dipenuhi dengan takhayul dan khurafat. Berikut ini beberapa bentuk kebodohan mereka dalam menjalani sistem kehidupan, yang ternyata masih banyak terjadi di zaman ini.
1. Mereka mengundi nasib mereka dengan Al Azlam, yakni anak panah tanpa bulu yang berjumlah tiga buah, masing-masing bertuliskan Ya, Tidak, dan Diabaikan. Untuk anak panah ketiga tersebut, masih ada turunannya lagi, yakni anak panah bertuliskan Air, Tebusan, Dari Kalian, Dari Selain Kalian, dan Diikutkan/Dikaitkan.Meraka mengundi nasib mereka dengan menggunakan Al Azlam ini untuk menentukan kativitas mereka, seperti bepergian, menikah, dan sebagainya.
2. Mereka juga melakukan semacam judi yang bernama Al Maysir dan Al Qiddah. Untuk itu, mereka biasanya membagi-bagikan daging unta yang mereka sembelih berdasarkan Al Qiddah tersebut.
3. Mereka mempercayai para dukun, peramal, dan tukang sihir, misalnya kahin, arraf, dan munajjimun.
Kahin (dukun) adalah orang yang sering memberikan informasi tentang gejala-gejala alam di masa depan dan sering disebut dengan mengetahui rahasia-rahasia alam. Diantara mereka ada yang mengklaim memiliki pengikut dari kalangan jin yang memberikan informasi kepadanya. Ada pula yang mengetahui hal-hal ghaib berdasarkan pemahaman yang diberikan kepadanya.
Arraf (peramal) adalah orang yang mengklaim dirinya mengetahui banyak hal melalui premis-premis dan hukum kausalitas yang dapat dijadikan bahan untuk mengetahui posisinya berdasarkan ucapan si penanya, perbuatan, atau kondisinya. Dalam masyarakat Jawa, kita mengenalnya sebagai primbon.
Munajjim (astrolog) adalah orang yang melihat sesuatu melalui bintang dan gugusannya, lalu memperkirakan peredaran dan waktunya, agar dia bisa mengetahui berbagai gejala alam dan peristiwa di masa depan. Di masa modern kita mengenalnya sebagai astrologi, horoskop, atau zodiak.
4. Mereka mempercayai nasib sial yang disebut dengan Ath Thiyarah. Mulanya mereka biasa mendatangi burung atau kijang, lalu membuatnya kabur. Jika binatang itu kabur ke arah kanan, mereka berkesimpulan untuk melakukan perjalanan karena akan bernasib baik. Dan jika binatang itu kabur ke arah kiri, mereka berkesimpulan untuk tidak melakukan perjalanan karena akan bernasib buruk. Mereka juga merasa bernasib buruk jika di perjalanan menemui binatang tertentu.
5. Untuk mendatangkan nasib baik, mereka memasang jimat dari ruas tulang kelinci. Menghindari hari-hari, bulan-bulan, hewan-hewan, rumah-rumah, atau perempuan-perempuan tertentu yang dianggap akan membawa nasib sial. Serta mengganggap bahwa orang yang mati terbunuh akan gentanyangan jika tidak dibalasdendamkan. Ruhnya akan menjadi burung hantu yang berterbangan di padang pasir seraya berteriak, “Haus, haus! Beri aku minum, beri aku minum!”
Saat itu, orang-orang Jahil dalam kondisi religiusitas yang sangat terpuruk dan memalukan, tapi mereka masih memegang sebagian ajaran Nabi Ibrahim dan tidak mereka tinggalkan, misalnya mengagungkan Ka’bah Baitullah, berthawaf, haji, umrah, wukuf di Arafah dan Muzdalifah, serta berkurban unta sembelihan.Namun, seperti yang sudah-sudah, mereka menambah-nambahkan apa yang mereka yakini sebagai bid’ah hasanah, misalnya karena Kaum Quraisy adalah keturunan Ibrahim, pemilik Tanah Haram, penguasa Ka’bah, dan pemukim Kota Makkah, maka mereka menjuluki diri mereka sebagai kaum pemberani, Al Hums. Oleh karena itu mereka merasa superior, bahkan terhadap ajaran Nabi Ibrahim. Mereka tidak mau melaksanakan wukuf di Arafah, juga tidak mau keluar dari Tanah Haram menuju Tanah Halal, tidak melakukan ifadhah (keberangkatan) dari sana, tapi melakukan ifadhah dari Muzdalifah.
Mereka beranggapan bahwa Al Hums tidak layak mengkonsumsi keju, memasak dan menyaring minyak mentega saat ihram, serta tidak memasuki tenda dari bulu wol, kecuali tenda yang terbuat dari kulit selama berihram.
Mereka mengatakan bahwa penduduk di luar Tanah Haram tidak pantas memakan makanan yang mereka bawa dari luar Tanah Haram jika maksud mereka datang adalah untuk berhaji atau umrah. Termasuk hal menjijikkan yang mereka tetapkan adalah keharusan seseorang dari luar Tanah Haram untuk thawaf pertama kali dengan pakai kebesaran Al Hums. Jika mereka tidak mendapatkannya, maka kaum lelaki mereka harus berthawaf secara telanjang, sementara kaum perempuan menanggalkan pakaiannya kecuali pakaian rumahan.
Jika seseorang merasa lebih mulia dan terhormat mengenakan pakaian dari luar Tanah Haram untuk thawaf, maka sesudah thawaf ia membuang pakaian tersebut, dan tidak seorangpun yang akan mengambil pakaian tersebut.
Bahkan, hal yang lebih konyol yang mereka lakukan saat berihram adalah tidak maunya mereka memasuki rumah dari pintu depan, tapi melubangi bagian belakang rumah untuk tempat keluar masuk. Mereka menganggap bahwa hal ini adalah sebuah kebajikan. Sungguh benar-benar pikiran yang picik dan sempit.
Maka, tidaklah heran jika pada masa dimana merebak kesyirikan, paganisme, takhayul, dan khurafat seperti itu disebut zaman Jahiliyah, era kebodohan. Seseorang yang bodoh pun sejatinya mengetahui bahwa berbagai hal yang mereka lakukan adalah hal yang tidak dapat diterima secara logis.
Lantas, jika kini, di zaman iPhone, Android, dan Blackberry tersebar bersama tersebarnya kesyirikan, paganisme, takhayul, dan khurafat dimana-mana, apakah masa ini sama dengan masa Jahiliyah? Saya tidak ingin menjawabnya untuk Anda, silakan jawab sendiri menurut ilmu, logika, dan hati Anda.
Komentar
Posting Komentar