Perempuan
itu berjalan mengitari kebun kecilnya, kehamilannya menua membuat
langkahnya tertatih. Maha benar Allah saat manusia di perintahkan
menghormati ibunya. “Ibumu mengandungmu sembilan bulan dengan kepayahan
yang bertambah-tambah”.
Sejenak
ia berhenti dan mengehembuskan nafasnya, ditatanya lagi pot-pot kecil.
Dia tersenyum sambil berkacak pinggang. Hhhfff…Benih akan bertumbuh
menjadi pohon, berbunga dan berbuah. Memberi manfaat.
“Nak, kau dengar kan? Gemericik air yang kusiramkan di tanah berisi benih tadi?”
“..itulah
kau sayang. Aku membentukmu sejak disini” . Dielusnya perut buncitnya,
kemudian dibiarkannya semua letih berseteru membentuk pegal yang
menyemut di kakinya. Ayunan didepan ‘padepokan kecil belakang rumah’
menjadi tempatnya bersantai. Allah memberikan pahala padamu wahai
perempuan, surga! Dan kau mudah meraihnya dengan kesabaran.Sebagai istri
terlebih sebagai ibu.
“Nak,
kau ingin aku memperdengarkanmu apa? Sederet musik klasik yang katanya
mencerdaskanmu? Sebentar, Nak… ada yang akan membentukmu lebih cerdas
dan kau takkan bosan” Diambilnya mushaf al-qur’an kecil dari dasternya
lalu lantunannya membuat sang janin 8,5 bulan itu bergerak-gerak
menyambut fitrahnya saat ruh ditiupkan padanya sejak empat bulan yang
lalu. Perjanjian dengan Allah : “Dan ingatlah ketika Tuhan-mu
Mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah
Mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya Berfirman), “Bukankah
aku ini Tuhan-mu? Mereka menjawab, “betul (Engkau tuhan kami), kami
menjadi saksi”…..(QS.Al-A’raaf:172)
“Kau
tahu nak, aku telah persiapkan pot-pot kecil berisi tanah dan benih
serta sepetak kebun disana. Aku menyebutnya laboratorium mini untukmu”
“Kelak
kau akan belajar dari tanah, bagaimana dia menumbuhkan dan menerima.
Kau akan belajar dari kesabarannya. Menerima apapun namun menumbuhkan
apa yang baik dengan izin Allah”
“Kau
akan belajar , nak. Dan aku akan membimbingmu. Bukan aku sendiri, Nak.
Tapi ayahmu juga. Dia memberimu keteguhan pula” perempuan itu tersenyum.
Pendar merah muda di kedua pipinya menyiratkan satu rasa bernama:
bahagia.
Ah,
mengapa banyak perempuan enggan merasakan apa yang kurasakan sampai
hari ini? Berdiskusi kecil dengan calon khalifah Allah di bumi? Satu
dari sekian banyak generasi baru yang Allah ciptakan? Nak, aku
mencintaimu.Sungguh.Karena Penciptamu menyuruhku begitu.
Matahari
berpendar kemerahan di ufuk barat. Senja menampakkan merahnya. Siang
ikhlas tergantikan perannya. Setelah kesibukan manusia diambang batas
waktu. ‘Sungguh dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian siang
dan malam terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal ‘(QS.
Ali-Imran:190)
Perempuan
itu memenuhi perannya yang lain. Berbakti pada satu makhluk yang
dipasangkan untuknya oleh Sang Khalik dalam satu fase kehidupannya di
bumi. Laki-laki itu membimbingnya takzim. Penghormatan yang layak
diberikan pada seorang makhluk yang diciptakan oleh Rabb-nya untuk
menjadi perhiasan terbaik. Keteguhannya menjadikan semai cinta makin
menjadi. Cinta karena Allah begitu mereka sering menyebutnya. Berbalut
romatisme perjuangan. Keduanya khusyuk dalam dialog-dialog dengan Sang
Raja Manusia. Rabb… jadikanlah aku dan dzuriyahku mendirikan Sholat…
Sejoli
manusia itu larut dalam perenungan-perenungan tentang diri dan semesta.
Serambi belakang seumpama sepetak taman surga dunia, menumbuhkan cinta
menyemaikan harap yang bermuara pada satu : gerbang surga hakiki.
Perempuan itu memainkan manik-manik tasbih, Sang lelaki melantunkan lagi
nada-nada syahdu mengiringi firman-firman ilahi. Perempuan itu
tersenyum memandang langit.
“Nak, dengar, kali ini ayahmu melantunkan nada kasih untukmu”
“Nak,
di bumi ibumu ini, waktu bernama malam telah menyapa. Mungkin kau gelap
disana, sayang. Tapi kegelapan itu menempatkamu pada fitrah yang agung”
nafas perempuan itu naik turun teratur. Efek psikologis dari sebuah
keadaan bernama: bahagia. Sang calon bayi menyambutnya,menandak-nandak
seolah mengatakan ,”Aku dengar, Bunda! Aku dengar!” laki-laki itu
tersenyum ,senyum teduh sang calon ayah.
“Nak,
kelak kau akan melihat langit yang luas, bintang-bintang dan rembulan
dimalam hari dan matahari di siangnya.” Bisik perempuan itu lagi, masih
memainkan tasbihnya.
“Kau akan belajar sayang, dari semuanya. Sebab, Tuhan menyuruh kita begitu.”
“kau
akan belajar bagaimana matahari yang selalu ikhlas memancarkan
sinarnya. Istiqomah menjalankan tugasnya, bahkan saat malam, bulan
meminjam sinarnya untuk menerangi langit”
“…
Kau kuharap juga menjadi bintang, sayang. Yang memiliki cahayanya
sendiri meski ia nampak kecil di mata manusia. Namun dia bintang, bukan
bulan yang hanya meminjam cahaya matahari.Sesuatu yang memiliki
cahayanya sendiri akan tetap ada dan ‘hidup’ meski tak selalu nampak
besar”
“…..Namun kau tak boleh cukup menjadi bintang yang sendiri. Sebab, kau akan terjebak keangkuhan dan tak cukup memberi arti”
“Nah….
Lihat nak! Itu rasi bintang. Kelak bunda akan tunjukkan padamu. Banyak
macam namanya. Gugusan bintang itu memberi pedoman pada makhluk di bumi.
Pada nelayan, pada petani, pada pelaut. Manusia tidak bisa sendirian
mengubah dunia, sayang. Dia harus menjadi bintang-bintang yang membentuk
rasi. Manusia harus bergandengan tangan dengan orang lain. Agar
cahayanya, kelebihan dan kekurangannya berpadu saling mengisi sehingga
makhluk dibumi akan mengambil manfaat dan menjadikan mereka pemandu.
Cahaya itulah hidayah dari Allah, sayang. Yang kau bersaksi bahwa tiada
tuhan selain-Nya sejak disini”perempuan itu mengelus perutnya. Kali ini
dia tak lagi hanya berbisik, namun ia menuliskan semua gumamnya.Pena dan
kertas adalah teman sejarah. Sang lelaki tersenyum. Aku makin
mencintaimu.
Bunda
aku mencintaimu, sungguh! sebab di rahimmu aku tumbuh menjadi calon
bintang yang akan membentuk rasi bersama bintang-bintang lain sebayaku.
Janin itu menandak-nandak lalu tenang.
Bunda….
Bilakah aku melihat wajahmu? Kubayangkan kau seteguh bunga mawar yang
kita siram pagi tadi. Maukah kau ceritakan padaku tentang bunga mawar
bunda? Pasti kau akan bercerita Bunda, sebagai satu mata ajar di sekolah
peradaban kita
Satu bulan sepuluh hari kemudian
Selamat
datang putri, tangismu menandai bahwa sekolah peradaban untukmu telah
resmi dibuka. Perempuan itu menangis.Tangis bahagia. Tuhannya memberinya
kesempatan untuk menjadi guru di salah satu ruang sekolah peradaban:di
rumahnya. Keajaiban itu berupa : perpindahan satu fase kehidupan dari
alam ruh ke alam rahim kemudian ke dunia. Oh, Rabbi…. Semoga aku sanggup
membimbingnya.
Laki-laki
itu terpana. Wahai, aku tak pernah bisa membayangkan sakit yang kau
rasakan, pejuang Kehidupan! Bukankah ini bukti bahwa perempuan lebih
perkasa dari laki-laki dengan kesabarannya? Bukankah ini bukan sebuah
kelemahan namun kelemahlembutan yang menumbuhkan ketegaran? Rabbi…
pantas jika surga ada dibawah telapak kaki seorang ibu. Aku
menghormatimu lebih dari sebelumnya, Ibu baru!
Enam tahun kemudian
Bersyukurlah
karena Allah masih memelihara sekolah peradaban bagi manusia: alam
semesta. Dan rumah kita sebagai salah satu ruang kelasnya. Tangan-tangan
mungil itu memainkan sekop kecil. Tertawa-tawa kecil mengeluarkan
gumam-gumam khas bocah. Perempuan disampingnya tersenyum .Biarkan saja
dia berlumur tanah sebab dari itu dia tercipta. Biarkan saja
tangan-tangan kecil itu meraba, merasakan setiap tekstur tanah dan semua
alat peraga alami yang tampak didepan matanya.
Bukankah
pergesekan kulit nya yang lembut dengan tanah dan semesta akan
memberinya pelajaran baru? Biar saja. Jika ingin kehidupan ramah
padanya, maka jangan ciptakan permusuhan dengan alam semesta meskipun
hanya sepercik rasa takut. Sebab jiwa murni itu sangat peka. Kotoran di
gamisku bisa dibersihkan, namun bekas kemarahanmu dihatinya sulit
dihilangkan. Begitu kira-kira kanjeng Rasul Muhammad mengajarkan kita
bagaimana bersikap lembut walau’hanya’ pada seorang bayi.*
Indera
diciptakan untuk merasa, melihat, membau, mendengar,mengecap. Alam
semesta adalah sekolah kita. Biarkan dia mengerti bahwa tubuhnya adalah
pelajaran tak terperi. Suatu hari dia akan merasa dirinya adalah
bentukan terbaik.
Mulailah percakapan dua generasi memulai pelajaran hari ini: kehidupan.
“Mengapa
Bunda mengubur biji itu dengan tanah?” gadis kecil bertanya. Hmmm…
kosakatanya yang kaya hasil dari kecerewetan perempuan disampingnya.
“ha…ha.. ini me- na-nam, Sayang, bukan mengubur”
“Me-na-nam ? Untuk apa?”
“Agar dia tumbuh”
“Tapi biji itu tertutup tanah, Bunda”
“Iya,
nak… tapi dia hidup..” Gadis enam tahun! Kuperkenalkan kau pada
penciptamu. Bertanyalah Sayang sebab telah kubiasakan kau sejak janin.
“Hidup? Dengan apa?”
“dengan air yang kita siramkan tadi, dengan pupuk,dengan udara”
“ Kau tau sayang?dahulu kamu pun ditanam begini” perempuan itu membentuk mimik selucu mungkin.
“ha..ha…ha….” gadis kecil itu tergelak.
“Aku, Bunda? He..he… dimana?”
“Hmmm… disini” perempuan itu menunjuk perutnya
Gadis itu melongo heran. Mungkin batinnya sedang menerka bagaimana mungkin dia yang sebesar ini. ‘di-ta-nam’ di perut ibunya???
“Bunda-aaa! Nggak mungkin!Nggak cukup!”
“Kau dahulu sebesar benih ini nak, sayang” dijumputnya biji bunga matahari.
“Kau di tanam Allah di perut Bunda”
“Allah?
Yang setiap hari kita berdo’a pada-Nya” perempuan itu mengangguk.Oh…
ananda. Benarlah kau lupa bahwa kau pernah bersaksi bahwa Dia Tuhanmu.
Kau harus tetap ingat, nak dengan perjanjian Agung itu. Aku miris dengan
sebayamu yang mungkin tak pernah lagi dikenalkan pada Allah-nya saat
dia lahir ke dunia
tiap-tiap anak lahir dalam keadaan suci (fitrahnya). Orang tuanya yang membentuknya menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi
“hiii… pasti gelap ,ya, Bunda?”
“Iya… tapi kau tetap hidup, kan sayang? Menjadi anak Bunda yang pandai” perempuan itu memandangnya penuh cinta
“i..ya….
kok bisa, ya Bunda?” gadis itu mengikut ibunya, mengaduk-aduk tanah,
menyemai benih-benih bunga. Tangan kecilnya bergerak semampu dia bisa.
“Karena Allah mencintaimu, sayang. Dia memberimu makanan melalui bunda, dia menitipkan mu pada Bunda dan Ayah, untuk merawatmu”
“ya! Ya! Seperti kita memberi pupuk dan air pada benih ini”
“Anak pintar!”
“Benih ini akan tumbuh sepertiku, kan Bunda?”
“Iya, sayang !menjadi bunga yang cantik. Kau akan senang melihatnya kelak seperti juga Bunda senang melihatmu tumbuh”
“mmm….. “ sang gadis kecil mencoba mengerti.
“kau
akan senang melihat benih itu tumbuh perlahan-lahan setiap hari. Karena
kau merawatnya dengan baik. Allah menitipkannya pada kita”
“Tapi Allah tidak menyiraminya,kan bunda?!” Oh, gadisku aku harus menjawab apa lagi?
“Hmm…Memang. Tapi Allah yang memberi kehidupan untuk benih itu, untukmu, untuk Bunda untuk semua yang ada di alam”
“Bunda….
Akan merawatku juga? Seperti kita merawat bunga ini, iya kan Bunda?”
Perempuan itu mengangguk, dibasuhnya tangannya, dibimbingnya gadis kecil
itu membersihkan dirinya. Cukup untuk hari ini , Sayang. Pelajaran kita
tentang kehidupan. Kelak kau akan semakin tahu banyak hal. Ini hanya
permulaan.
Perempuan
itu…. semoga aku! Setahun, dua tahun, tiga tahun atau beberapa tahun
lagi jika Allah menghendakiku dan memandangku pantas menjadi salah satu
pendidik di sekolah peradaban-Nya: Alam semesta ; disalah satu ruang
kelasnya;rumah tanggaku! Dimana setiap sudutnya adalah serpihan-serpihan
ilmu dan hamparan pengetahuan untuk mencintai-Nya. Dimana akan
kukenalkan generasi-generasi dari rahimku tentang mencintai Rabb-nya,
dimana disekolah peradaban itu….lulusannya tidak sekedar mendapat
selembar kertas bertuliskan ;lulus! Sebab Alam semesta menjanjikan
proses belajar yang tak henti. Selamat datang di sekolah peradaban kita:
Alam semesta, langit dan bumi yang hanya orang-orang yang berakal yang dapat mengambil pelajaran.Wallahu a’lam bish-shawwab
*)
seorang bayi ‘pipis’ di gendongan Rasulullah Muhammad SAW kemudian
ibunya segera ‘merebutnya ‘ karena rasa hormatnya pada Rasulullah. Kemudian rasulullah berkata yang kurang lebih seperti di atas.
Robi’ah al-adawiyah Mhs FH UNS Solo,
Forum Lingkar pena (FLP) Solo. r_aladawiyah@yahoo.com
Eramuslim.com | Media Islam Rujukan,
Komentar
Posting Komentar