Dikalangan
tertentu pacaran tidak dikenal, pun mereka tahu tetapi cenderung
menghindari karena menganggap gaya itu tidak lagi mutlak dilakukan pada
masa pranikah. Selain dinilai tidak sesuai dengan norma agama -ini
terbukti dari pengalaman sepanjang sejarah keberadaan manusia bahwa
pacaran cenderung kelewat batas bahkan tidak sedikit yang amoral- juga
berkembangnya pemikiran bahwa satu kesia-siaan saja berjalan bersama
orang yang belum tentu 100 % menjadi pasangannya. Ya, bagaimana mungkin
bisa meyakinkan bahwa orang yang saat ini berjalan bersamanya memiliki
komitmen untuk tetap ‘setia’ sampai ke jenjang pernikahan, la wong sudah sekian tahun berpacaran ternyata wacananya hanya sebatas curhat-curhatan dan take n give yang tak berdasar, tidak meningkat pada satu tindakan gentle,
menikah! Atau setidaknya mengajukan surat lamaran ke orangtua si gadis.
Berbagai dalih dan argumentasi pun meluncur untuk mengkamuflasekan
ketidakgentle-annya itu, yang kemudian semua orang pun tahu itu cuma lips service dari orang yang tidak benar-benar dewasa alias childish.
Kedewasaan, ukurannya tidak terwakili hanya oleh umurnya yang diatas seperempat abad misalnya, tetapi juga pada sikap diri, attitude
yang tertampilkan dalam kesehariannya. Dalam dunia pekerjaan, sikap
dewasa dapat dilihat dari profesionalisme kerja, termasuk didalamnya
kedisplinan. Dalam hubungan interelasi, bijaksana, proporsional dalam
bersikap dan berbicara bisa jadi satu parameter kedewasaan. Nah yang
menjadi masalahnya kemudian, tidak sedikit orang yang seharusnya
bersikap dewasa justru memamerkan sifat kekanakkan saat berkesempatan
bersama pasangannya, sikap yang dipraktekkan secara tidak proporsional
dari ungkapan kasih sayang dan pengorbanan.
Orang
terlihat dewasa mungkin hanya dari fisiknya saja, namun sisi lainnya
seringkali luput dari perhatian. Padahal kedewasaan jelas meliputi
beberapa aspek yang sekiranya patut diperhatikan dalam memilih pasangan
yang kelak dinominasikan untuk menjadi pasangan hidup. Dewasa secara fisik,
dimana organ-organ reproduksi telah berfungsi secara optimal yang
ditandai dengan produksi sperma yang baik pada pria dan produksi sel
telur yang memadai pada wanita. Selain perkembangan sel-sel otot tubuh
menandakan –sekaligus membedakan- pria dan wanita. Dewasa secara psikologis,
yang ditandai dengan kemampuan untuk menyelesaikan masalah dan
konflik-konflik yang terjadi dalam kehidupan, serta mampu menjalani
hubungan interdependensi. Ini penting untuk diperhatikan dalam rangka
mencapai tujuan-tujuan bersama dalam pernikahan. Dewasa secara sosial-ekonomi
ditampakkan dalam kemampuan seseorang untuk membiayai kebutuhan hidup
yang layak sebagai suami-istri. Tentu hal ini terkait dengan adanya
pekerjaan yang jelas serta penghasilan yang tetap, serta kesadaran akan
meningkatnya biaya kehidupan dari waktu ke waktu seiring dengan
bertambahnya anggota keluarga kelak.
Berdasarkan
aspek kedewasaan diatas, maka wajarlah jika disatu sisi justru ada
orang yang enggan berpacaran. Seperti diuraikan sebelumnya, bahwa
pacaran selain tidak diajarkan dalam agama Islam karena melanggar norma
yang digariskan, juga dianggap ‘buang-buang waktu’, ‘wujud ketidakgentle-an’,
‘aktifitas sia-sia’ dan lain-lain. Namun sekedar diketahui, bahwa
diluar itu ada sebagian yang memang benar-benar takut untuk mencintai,
dicintai dan bahkan takut jatuh cinta. Dalam psikologi, orang-orang ini
mungkin dianggap terkena sindrom fear of intimacy,
satu kondisi yang disebabkan oleh ketakutan yang teramat sangat untuk
menerima resiko kenyataan di kemudian hari. Seperti ditulis astaga.com, menurut psikolog Robert W Firestone dan Joyce Catlett, fear of intimacy
ini adalah salah satu perwujudan dari pertahanan psikologis, yang lebih
merupakan cermin dari pikiran dan sikap negatif atas hal-hal yang
dilihat dan dipelajarinya waktu kecil.
Maka
kemudian, Islam mengenal ‘pacaran’ dalam kemasan yang berbeda. Ustadz
Ihsan Arlansyah Tanjung, konsultan keluarga sakinah di situs eramuslim
sering mengatakan bahwa pacaran akronim dari ‘pakai cara nikah’. Ya,
Islam hanya mengajarkan bentuk-bentuk curahan kasih sayang dan cinta itu
setelah melalui satu proses sakral yakni pernikahan. Sementara proses
pranikah yang dilakukan untuk saling mengenal antara calon pria dan
wanita biasa disebut proses ta’aruf
(perkenalan). Yang penting dari ta’aruf adalah saling mengenal antara
kedua belah pihak, saling memberitahu keadaan keluarga masing-masing,
saling memberi tahu harapan dan prinsip hidup, saling mengungkapkan apa
yang disukai dan tidak disukai, dan seterusnya. Kaidah-kaidah yang perlu
dijaga dalam proses ini antar lain nondefensif, tidak bereaksi berlebihan pada feedback negatif, serta terbuka untuk mencoba pengalaman-pengalaman baru, Jujur, tidak curang, berbohong dan punya sense of integrity yang kuat, Menghormati
batas-batas, prioritas dan tujuan calon pasangan yang menyangkut diri
mereka maupun tidak, Pengertian, empati, dan tidak mengubah pasangannya
sedemikian rupa serta tidak mengontrol, manipulatif, apalagi mengancam
pasangan dalam bentuk apa pun.
Dalam
tahap ini anda dan dia bisa saling mengukur diri apakah cocok satu sama
lain atau tidak. Masing-masing pihak masih harus sama-sama membuka
options/kemungkinan batal atau jadi. Maka umumnya dilakukan tanpa
terlebih dahulu melibatkan orangtua agar tidak menimbulkan kesan ‘harga
jadi’ dan tidak ada lagi proses tawar menawar, sehingga jika pun
gagal/batal tidak ada konsekuensi apa-apa. Karena jika sudah sampai
menemui orangtua berarti secara samar maupun terang-terangan seorang
pria sudah menunjukkan niat untuk memperistri si wanita. Yang perlu jadi
ingatan, seringkali pasangan-pasangan itu terjebak dalam aktifitas
pacaran yang terbungkus sampul ta’aruf. Apa namanya bukan pacaran kalau
ada rutinitas kunjungan yang melegitimasi silaturahmi dengan embel-embel
‘ingin lebih kenal’.
Jika sudah mantap atas pilihan masing-masing barulah kemudian melibatkan orang tua dalam proses selanjutnya, lamaran (khitbah).
Untuk khitbah tak ada aturan yang kaku, yang penting dalam masa
penjajagan keduanya berkenalan dan saling mengungkap apa yang disukai
dan tidak disukai, saling mengungkap apa visi misi dalam pernikahan dan
seterusnya. Tentunya khitbah harus tetap mengikuti aturan pergaulan
Islami, tak berkhalwat, tak mengumbar pandangan, tak menimbulkan zina
mata, hati (apalagi badan), tak membicarakan hal-hal yang termasuk
kejahatan dan sebagainya.
Yang
perlu disadari, khitbah mirip jual beli, dalam masa tawar menawar bisa
jadi, bisa juga batal. Pembatalannya harus tetap sopan menurut aturan
Islami, tidak menyakiti hati dengan kata-kata yang kasar, tidak
membicarakan aib yang sempat diketahui dalam khitbah kepada orang lain.
Namun sebagaimana jual beli harus ada prinsip kedua belah pihak ridho.
Khitbah baru bisa berlanjut ke pernikahan jika kedua pihak ridho, jika
salah satu membatalkan proses tawar menawar maka pernikahan tak akan
jadi. Kalaupun dibatalkan (meski mungkin menyakitkan), harus ada alasan
yang kuat untuk salah satu pihak membatalkan rencana nikah yang sudah
matang. Sebab Islam melarang ummatnya saling menyakiti tanpa alasan.
Jadi jika ada yang ragu (dengan alasan yang benar) sebelum menikah,
sebaiknya membatalkan sebelum terlanjur.
Adapun
jarak antara khitbah dan akad nikah, tidak ada aturan yang menjelaskan
harus berapa lama, tentu dalam hal ini masing-masing pihak bisa
mengukurnya sendiri. Satu hari bisa jadi sudah deadline bagi pria-wanita
yang sudah sedemikian menggebunya hingga khawatir terjerumus kepada
dosa zina. Namun jika bisa merasa ‘aman’ dengan menunda beberapa waktu
tidak masalah.
Jadi, jika segalanya sudah terencana dengan matang dan baik, seperti kata seorang
bijak, jika berani menyelam ke dasar laut, mengapa terus bermain di
kubangan, kalau siap berperang mengapa cuma bermimpi menjadi pahlawan … Wallahu a’lam bishshowaab (Abinya Hufha)
Eramuslim.com | Media Islam Rujukan,
Komentar
Posting Komentar