Mari bersyukur kepada Allah Ta’ala yang mensyariatkan taubat kepada kita-Umat Muhammad-dengan mengucapkan istighfar, menyesali dosa, meninggalkannya, mengisi dengan amal kebaikan serta meminta maaf jika dosa terkait hak sesama. Sebab, ada kaum terdahulu yang syariat taubatnya adalah dengan bunuh diri.
Imam Ibnu Katsir menyebutkan dalam tafsirnya sebagaimana diceritakan oleh Abdurrahman bin Zaid bin Aslam. Saat Nabi Musa ‘alaihis salam kembali kepada kaumnya, ada tujuh puluh orang yang ber-‘uzlah bersama Nabi Harun alaihis salam. Selain itu, ungkap Ibnu Katsir, “Mereka tidak menyembah anak lembu.”
“Berangkatlah menuju janji Rabb kalian,” seru Musa ‘alaihis salam kepada mereka. Dengan gemetar lantaran harap dan cemas, mereka bertanya, “Apakah kami masih bisa bertaubat, wahai Musa?”
Nabi yang diutus Allah Ta’ala untuk Bani Israil ini pun membacakan firman-Nya,“Bunuhlah diri kalian. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian di sisi Rabb yang telah menjadikan kalian, sehingga Dia pun menerima taubat kalian.” (Qs. al-Baqarah [2]: 53)
Mari berhenti sejenak. Jika firman suci itu dialamatkan kepada kita, jika yang mendengar perintah “Bunuhlah diri kalian” adalah kita, apakah yang pertama kali terbayang? Apa pula respon yang serta-merta kita lakukan? Menolak, mungkin. Namun, tidak demikian dengan tujuh puluh orang ini.
“Mereka pun mengeluarkan pedang dari sarungnya, segala jenis alat potong dan juga pisau”, lanjut Ibnu Katsir, “Lalu mereka saling bunuh. Ada di antara mereka yang berhadapan dengan bapaknya dan saudaranya.”
“Namun”, lanjutnya menerangkan, “Mereka tidak saling melihat dan mengetahui.” Mengapa bisa demikian? “Karena Allah Ta’ala mengirimkan kabut sebelum mereka saling bunuh.”
Dalam melaksanakan syariat taubat itu, “Mereka saling berseru, ‘Semoga Allah Ta’ala memberikan rahmat kepada hamba yang bersabar atas dirinya sampai ia mendapatkan Ridha-Nya.”
Atas peristiwa itu, sebagian mereka terbunuh, dan sebagian lainnya masih hidup. Bagi keduanya berhak atas jaminan, “Mereka yang terbunuh gugur sebagai syuhada’, dan yang hidup diterima taubatnya,” pungkas Ibnu Katsir meriwayatkan.
Mahabenar Allah Ta’ala dengan semua firman-Nya. Dan sebaik-baik perkataan adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. [Pirman]
Komentar
Posting Komentar